Oleh: Dicky Eko Prasetio*
13 Agustus 2022, Mahkamah Konstitusi genap berusia 19 tahun. Mahkamah Konstitusi sejatinya merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang lahirdari gejolak reformasi 1998.
Mahkamah Konstitusi sejatinya diformulasikan dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 2001, khususnya dalam ketentuan Pasal 24C UUD NRI 1945 pasca amandemen. Hal ini dimaksudkan supaya gejolak reformasi dapat meneguhkan hakikat supremasi konstitusi sehingga praktik penyelenggaraan negara dapat terhindar dari kooptasi salah satu individu atau kelompok tertentu yang berpotensi menyalah gunakan kekuasaan sebagaimana pemerintah pada masa orde baru.
Penjaga Ideologi dan Konstitusi
Mahkamah Konstitusi sejatinya didirikan dengan upaya untuk menjaga eksistensi konstitusi sebagai the supreme law of the land atau hukum tertinggi dalam suatu negara.Pada masa sebelum reformasi 1998, khususnya pada era orde lama dan orde baru, supremasi konstitusi hanya dijadikan simbol dan sarana “lip service” saja. Era orde lama dan orde baru tak lebih memahami konstitusi sebagai “keinginan penguasa” sehingga apa yang diinginkan kekuasaan itulah konstitusi. Hal ini berdampak pada berbagai Undang-Undang yang dibentuk dan kemudian bertentangan dengan konstitusi. Padahal, dalam teori jenjang norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, konstitusi sebagai norma hukum tertinggi dalam suatu negara harus dijadikan dasar dan patokan dalam membentuk peraturan di bawahnya, tak terkecuali Undang-Undang. Artinya, jika terdapat Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar maka seyogyanya Undang-Undang tersebut adalah batal demi hukum (null and void).Hal inilah yang sejatinya menjadi urgensi dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam amandemen konstitusi.
Sebelum amandemen konstitusi, pertentangan antara Undang-Undang dengan Undang-Undang Dasar hanya dapat diselesaikan secara political review melalui MPR, padahal idealnya sebagai dokumen hukum, konstitusi harus ditafsirkan oleh lembaga penegak hukum, khususnya lembaga yudisial.
Hal inilah sejatinya hakikat Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi. Sebagai penjaga ideologi, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 100/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa sebagai ideologi bangsa dan negara, maka Pancasila haruslah ditempatkan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya, sebagai dasar negara, Pancasila juga merupakan cita hukum (rechtsidee) sehingga Pancasila tidak layak disebut sebagai pilar dalam rangkaian empat pilar. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sejatinya merupakan upaya untuk menegaskan sekaligus “menjernihkan” makna Pancasila supaya tidak dikategorikan sebagai “pilar” tetapi merupakan “dasar” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal inilah yang merupakan peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga ideologi.
Penjaga Demokrasi
Selain sebagai penjaga ideologi dan konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berperan sebagai lembaga penjaga demokrasi. Salah satu implementasinya adalah dalam Putusan No. 91/PUU-XIX/2021 yang menegaskan bahwa UU Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat. Maksud inkonstitusional bersyarat bahwa sejatinya UU Cipta Kerja adalah cacat formil dalam pembentukannya, namun karena terdapat substansi dan alasan kemanfaatan maka dianggap masih berlaku tentu dengan penyempurnaan maksimal dua tahun (maksimal tahun 2023).Selain itu, dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perlunya adanya partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi yang bermakna meliputi: hak untuk didengar (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), serta hak untuk mendapatkan penjelasan (right to be explained).
Berdasarkan uraian di atas, tentu hari ulang tahun Mahkamah Konstitusi harus dimaknai sebagai bagian dari upaya evaluasi bagi Mahkamah Konstitusi untuk selalu konsisten dalam menjaga demokrasi, menjaga konstitusi, sekaligus menjaga nilai-nilai Ideologi Pancasila.
Selamat Ulang Tahun, Mahkamah Konstitusi.
*Penulis merupakan Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan, Universitas Negeri Surabaya.