Jejak air yang tak pernah diam, dari laporan kolonial hingga kolam yang tetap bening hari ini.
Di balik kerindangan pohon jati dan aroma tanah basah selepas hujan, Wana Wisata Dander menyimpan satu pertanyaan yang belum banyak dijawab: sejak kapan kolam renang alami di tempat ini mulai ada?
Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana. Tapi jawabannya ternyata menuntun kita pada catatan-catatan tua dari masa kolonial Belanda—di mana alam, kekuasaan, dan rekreasi sering saling bertemu.
Mata Air Favorit Penduduk Radjegwesi
Jejak pertama tempat ini bisa ditelusuri dalam arsip ilmiah tahun 1858, yang diterbitkan dalam Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. Dalam laporan itu, seorang pengawas Belanda bernama H. A. F. De Vogel menulis tentang keberadaan sebuah mata air di desa Dander.
Mata air itu, kata dia, muncul dari lapisan batu kapur dan menghasilkan air yang jernih, sejuk, dan berkualitas tinggi. Tak hanya menjadi sumber air bersih, tempat ini juga digunakan sebagai tempat mandi dan pemandian favorit penduduk Radjegwesi, kota tua di dekatnya yang kini tinggal nama.
Catatan Wisata Ilmiah Tahun 1931
Tiga perempat abad kemudian, catatan Belanda kembali menyebut Dander dalam konteks wisata.
Koran De Indische Courant edisi 27 November 1931 mencatat bahwa perkumpulan ilmiah Natuur-historische Vereeniging dari Jombang akan mengadakan ekspedisi ke kawasan selatan Rembang. Rute mereka meliputi Gunung Mais, desa Sumber Kunyit (Semboeng Koeion), hingga tempat mandi bernama badplaats Dander—yang secara harfiah berarti “pemandian Dander.”
Tak sekadar mampir, mereka menempatkan Dander sebagai salah satu titik kunjungan yang dianggap menarik secara alam dan kebudayaan. Ini menunjukkan bahwa pemandian di Dander sudah dikenal luas dan dianggap penting jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pemandian yang Masih Terawat
Hingga hari ini, Pemandian Dander masih ada. Lokasinya kini menjadi bagian dari kompleks wisata alam yang dikelola pemerintah daerah. Airnya tetap mengalir dari sumber alami, seperti puluhan—bahkan mungkin ratusan—tahun yang lalu.
Meski fasilitasnya telah berubah dan diperbarui, warisan kolam ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang tercatat dalam arsip-arsip kolonial. Ia bukan hanya tempat berendam, tapi juga bagian dari ingatan kolektif yang membentang dari zaman Hindia Belanda hingga era digital sekarang.
Air Tak Pernah Diam
Sejarah memang tak selalu hadir dalam bentuk prasasti atau patung. Kadang, ia mengalir pelan bersama air yang jernih dan tenang di sebuah kolam yang tampak biasa. Tapi bagi yang jeli membaca arsip, pemandian Dander adalah sisa masa lalu yang masih hidup—air yang terus mengalir dari zaman ke zaman, dari laporan kolonial hingga wisata keluarga masa kini.
Penulis : Syafik
Sumber :





