Perda Pariwisata dan Arah Pembangunan
Lima tahun lalu, Bojonegoro menuliskan mimpi besar dalam lembaran hukum: Perda Nomor 4 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA). Aturan itu dirancang sebagai kompas—penunjuk arah pembangunan wisata hingga 2025. Namun dalam praktiknya, kompas ini tak pernah benar-benar digunakan.
Alih-alih berkembang, sektor pariwisata Bojonegoro justru terjun bebas. Jumlah kunjungan wisatawan tahun 2024 hanya mencapai 267.863 orang. Angka ini merupakan yang terendah sejak 2017, bahkan lebih rendah dari masa pandemi. Fakta ini tidak bisa dianggap biasa. Ada yang tidak beres.
Rencana Ada, Tapi Tak Diikuti Tindakan
RIPPDA menjanjikan banyak hal: strategi pembangunan destinasi, penguatan promosi, dan keterlibatan masyarakat. Sayangnya, tak satu pun tampak berjalan secara konsisten. Pemerintah seolah menyimpan dokumen ini rapi-rapi di rak, tapi melupakannya saat menyusun anggaran atau program.
Pariwisata Bojonegoro seperti kapal megah tanpa awak—diam, berkarat, dan akhirnya terlupakan.
Data Tak Bisa Dibantah: Tren Kunjungan Terjun Bebas
Mari kita lihat datanya. Pada 2022, Bojonegoro mencatat 1.228.570 kunjungan wisatawan. Namun dua tahun setelahnya, jumlah itu turun drastis hampir 1 juta pengunjung:
-
2022: 1.228.570
-
2023: 1.132.384
-
2024: 267.863
Penurunan ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan alasan pandemi. Tahun 2022 justru menunjukkan lonjakan besar, yang menandakan minat wisata sudah pulih. Yang belum pulih adalah pengelolaannya.
Beberapa destinasi bahkan kehilangan daya tarik secara total. Go Fun, misalnya, anjlok dari 650 ribu pengunjung (2018) menjadi hanya 17 ribu (2024). Agrowisata Belimbing turun tajam, dari 101 ribu menjadi 19.900. Teksas Wonocolo, yang seharusnya menjadi ikon geowisata, hanya menyedot 1.332 orang sepanjang tahun.
Lebih parah lagi, jumlah wisatawan mancanegara hanya dua orang. Ya, dua orang saja.
Banyak Destinasi, Tapi Tak Ada yang Diurus Serius
Bojonegoro memiliki 50 destinasi dalam daftar Dinas Pariwisata. Namun sebagian besar hanya aktif di data, bukan di lapangan. Air Terjun Krondonan, Bukit Tono, Gunung Jati, hingga Watu Gandul tidak mencatat satu pun pengunjung. Bahkan beberapa taman kota dan wisata edukasi yang sempat viral, kini sepi tanpa laporan.
Destinasi ini seperti panggung megah yang kehilangan penonton—bukan karena tak menarik, tetapi karena tak pernah dipromosikan.
Bukan Lagi Soal COVID, Tapi Soal Ketidakseriusan
Tahun 2022 membuktikan bahwa masyarakat ingin kembali berwisata. Tapi tak ada upaya berarti untuk menjaga atau meningkatkan momentum tersebut. Pemerintah tak mempercepat promosi, tak menambah daya tarik, bahkan tak memperbaiki destinasi yang rusak.
Dengan kata lain, Perda itu disahkan, tapi tak pernah dijalankan.
Kepemimpinan Baru: Masih Ada Cahaya di Ujung Terowongan
Meski kondisi saat ini menyedihkan, bukan berarti Bojonegoro tak punya harapan. Sejak 20 Februari 2025, Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah mulai menjabat. Mereka datang dengan janji segar dan semangat perubahan.
Salah satu terobosan awal yang menarik adalah visi “Tour de Bojonegoro”, gagasan dari pasangan ini untuk menjahit potensi desa-desa wisata menjadi lintasan pariwisata terpadu. Selain itu, Wastra Batik Festival 2025, Festival Geopark dan penguatan budaya lokal seperti Motif Obor Sewu menjadi langkah awal menyalakan kembali panggung wisata yang redup.
Namun, benih tidak tumbuh hanya karena ditanam. Pemimpin perlu mengolah tanah, menyiram secara rutin, dan menjaganya dari hama kegagalan. Itulah pekerjaan rumah utama kepemimpinan baru.
Bojonegoro Butuh Nyala, Bukan Janji
Pariwisata tidak hidup dari dokumen perencanaan. Ia butuh aksi nyata, dana yang dialirkan tepat sasaran, SDM yang terlatih, serta promosi yang aktif. Tanpa itu, potensi wisata hanya akan menua dalam diam—seperti lilin yang tak pernah dinyalakan.
Jika pemerintah serius, maka mereka harus memastikan Perda RIPPDA bukan hanya sekadar arsip, tapi benar-benar dijadikan pedoman pembangunan. Karena jika tidak, Bojonegoro akan terus kehilangan potensi demi potensi—bukan karena tidak punya, tapi karena tidak digarap.
Kita tidak kekurangan niat. Yang kurang adalah tindakan. Dan sekarang, dengan kepemimpinan baru, kita punya kesempatan kedua untuk menyalakan nyala itu kembali. Mari jangan sia-siakan lagi. Karena kalau Bojonegoro gagal dua kali di sektor pariwisata, generasi selanjutnya hanya akan mengenang “masa keemasan yang tak pernah datang.”
Penulis : Syafik
Sumber data : Perda Bojonegoro nomor 4 Tahun 2020, Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Bojonegoro Tahun 2019-2025, Satu Data Bojonegoro