“Lebih Baik Diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan” Soe Hok Gie
Soe Hok Gie lahir pada momentum yang tepat, mampu ambil bagian sehingga membuat namanya abadi. Kisahnya menjadi inspirasi gerakan mahasiswa hingga empat dekade setelah kematiannya. Soe lahir di Kebon Jeruk, Jakarta, 17 Desember 1942. Ia dibesarkan di rumah kecil bersama orang tuanya. 27 tahun kemudian, jenazahnya diberangkatkan ke pemakaman dari rumah tempat ia lahir.
Soe pandai membaca sejak dini. Ketika masih di bangku pendidikan dasar, Soe mulai membaca karya sastra serius, termasuk karya Pramoedya Ananta Toer. Tulisan Sutan Sjahrir yang berjudul Renungan Indonesia menarik perhatiannya dan mendorong ketertarikannya pada Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibentuk Sjahrir.
Bulan September 1961 Soe diterima di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Masuknya Soe ke universitas dan partisipasinya dalam komunitas intelektual menambah dimensi baru bagi kesadaran politiknya. Maret 1963, Soe masuk dalam kepemimpinan pusat LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa. Organisasi ini mengantar Soe bertemu Soekarno, 22 Februari 1963. Pertemuan yang begitu memuakkan dan menambah kebencian dalam dirinya.
September 1964 Soe meraih gelar sarjana muda dengan skripsi berjudul Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam 1917-1920. November 1964, Mapala Fakultas Sastra VI terbentuk, dan Soe menjadi bagian di dalamnya. Dini hari 30 September 1965, Soe dan teman-teman Mapala-nya meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah untuk hiking ke Merapi, ketika Gerakan 30 September terjadi.
Beberapa hari kemudian ia baru mengetahui, kelompok kiri telah berusaha melakukan kudeta. Saat Soe kembali ke Jakarta, ibukota benar-benar telah bergolak. Diperparah dengan kenaikan harga bahan bakar, tarif bus dan kereta api, demonstrasi tidak bisa ditahan. Korban pun jatuh. Dua orang demonstran tewas: Arief Rachman Hakim, mahasiswa kedokteran DI tingkat empat, dan Zubaedah, pelajar sekolah menengah.
Soe murka. Peristiwa ini memperkuat tekadnya untuk terus melawan meski nyawa harus melayang. Ini adalah point of no return. Soe Hok Gie pun menjadi bagian tak terpisahkan dari gelombang demonstrasi mahasiswa 1966 yang mengajukan Tritura.
Ketika Soekarno akhirnya turun tahta dan Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden RI, gerakan mahasiswa mengalami cooling down. Tapi Soe Hok Gie tidak. Ia cermat mengamati bagaimana sepak terjang rezim yang baru itu. Sepanjang tahun 1967, Soe merangkum sepak terjang reformasi ala Soeharto dalam lebih dari 30 artikel. Beberapa tulisannya di paruh kedua tahun itu merupakan hasil analisis yang sangat mengagumkan dari kemampuan Soe Hok Gie mengangkat persoalan sulit dan janggal mengenai arah politik Orde Baru.
Dialah orang pertama yang skeptis terhadap masa depan negara di bawah Orba. Tanggal 16 Desember 1969, Soe meninggal setelah menaklukkan Semeru, akibat semburan gas beracun.
Soe pernah mengekspresikan rasa irinya kepada mereka yang mati muda. Mereka yang mati muda tak sempat kehilangan idealisme. Mereka yang mati muda akan tetap muda selamanya. Dan ia pun mengalaminya.
Editor : Syafik
Sumber : Buku “100 Tokoh yang Mengubah Indonesia” Agromedia Pustaka 2005