Saatnya “Dari Bojonegoro, Oleh Bojonegoro, dan Untuk Bojonegoro”

oleh 121 Dilihat
oleh
(Agung Surpiyanto /nomor tiga dari kiri /Saat mendampingi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Bupati Bojonegoro Anna Muawanah dan Bupati Tuban Aditya Halindra Faridzky. Berjalan di atas Jembatan TBT saat peresmian, Rabu 12-1-2022. Foto : bojonegorokab.go.id)

Damarinfo.com – Sejak tahun 2019, Bojonegoro seperti mendapat durian runtuh. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meroket hingga menembus Rp7,1 triliun, berkat limpahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas (DBH Migas).

Jumlah uang sebesar ini seharusnya menjadi peluang emas. Momentum untuk menata masa depan, memutar roda ekonomi lokal, dan membangun kemandirian daerah.

(Grafik APBD Bojonegoro tahun 2018 – 2024. data diolah, sumber bpkad.id)

Jalan-Jalan Cor, Ekonomi Lokal Masih Mandek

Salah satu sektor yang paling merasakan guyuran dana adalah belanja modal, terutama untuk pembangunan jalan, irigasi, dan jaringan. Pada 2018, pos ini tercatat hanya Rp365 miliar, namun melonjak tajam menjadi Rp1,07 triliun pada 2019. Angkanya terus naik hingga Rp2,4 triliun di tahun-tahun berikutnya.

Sebagian besar digunakan untuk rigid pavement alias jalan cor beton. Tak sedikit pula proyek megastruktur seperti pasar wisata, masjid wisata religi, jembatan penghubung antarkabupaten (Blora–Bojonegoro, Kanor–Rengel), serta gedung-gedung pemerintahan baru.

Namun, di balik beton-beton yang kokoh itu, ada fakta yang bikin geleng kepala: kontraktor lokal Bojonegoro nyaris tak kebagian peran.

Proyek Jumbo, Tapi Bukan Buatan Bojonegoro

Proyek-proyek dengan nilai puluhan miliar rupiah justru jatuh ke tangan kontraktor luar daerah, bahkan luar provinsi. Contohnya:

  • Pembangunan RS Wilayah Selatan Tahap 2 senilai Rp49,4 miliar, dikerjakan PT. Jaya Etika Beton dari Surabaya.

  • Pembangunan RSUD Sosodoro Djatikusumo senilai Rp39,5 miliar, juga oleh PT. Jaya Etika Teknik, Surabaya.

  • Pelebaran Jalan Nasional Bojonegoro–Baureno senilai Rp82,91 miliar, digarap PT. Surya Mataram Sakti dari Magelang, Jawa Tengah.

Baca Juga :   PEPC Tegaskan Komitmen pada Transparansi dan Proses Pengadaan yang Terbuka

Data dari Opentender.net pada tahun 2021 memperkuat kenyataan pahit ini. Dari 443 proyek yang dilelang, kontraktor Bojonegoro hanya mengerjakan 228 proyek, dengan total nilai Rp204,15 miliar atau hanya 15,8 persen dari total nilai kontrak. Sementara itu, kontraktor luar Bojonegoro menguasai 84,2 persen, dengan nilai Rp1,14 triliun.

Artinya, lebih dari satu triliun rupiah mengalir keluar dari Bojonegoro. Sebuah kebocoran yang membuat ekonomi lokal tidak ikut bergerak, meski pembangunan berlangsung di tanah sendiri.

(Tabel Pemenang Lelang 10 Proyek dengan Nilai terbesar, per 12-5-2023. Data diolah dari laman lpse bojonegoro)

Sudah Pernah Ada Perda Konten Lokal

Padahal, semangat keberpihakan pada pelaku lokal bukan barang baru. Pada 2011, saat proyek pengeboran Banyu Urip bergulir, lahirlah Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Konten Lokal.

Perda ini mewajibkan keterlibatan pelaku usaha lokal dalam proyek-proyek besar, salah satunya melalui skema Joint Operation (JO) dengan perusahaan luar daerah.

Sayangnya, perda itu ditinggalkan begitu saja. Tekanan politik dan ambisi pembangunan jalan “nglenyer” dengan cepat, membuat prinsip keberpihakan dikorbankan. Akibatnya, potensi ekonomi lokal tak tumbuh secara merata.

Baca Juga :   Perda Konten Lokal Pudar, Kontraktor Lokal Ambyar

Harapan Baru dari Pemimpin Asli Bojonegoro

Kini, di bawah kepemimpinan Setyo Wahono dan Nurul Azizah, dua figur asli Bojonegoro, muncul secercah harapan baru. Harapan bahwa pembangunan tidak lagi sekadar soal jalan mulus dan gedung megah, tapi juga tentang seberapa besar warga Bojonegoro ikut tumbuh dan diuntungkan.

Sudah saatnya Pemkab kembali melirik Perda Konten Lokal. Jika regulasi lama sudah tak relevan, susun ulang dengan semangat yang sama: mendorong kontraktor lokal agar naik kelas.

Tidak semua proyek harus dikerjakan oleh lokal, tapi setidaknya harus ada pembinaan, alokasi khusus, dan afirmasi nyata, agar pelaku usaha lokal tumbuh profesional, kompetitif, dan dipercaya.

Lalu, Untuk Siapa Sebenarnya Pembangunan Ini?

Bojonegoro kini memiliki kekuatan fiskal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi kekuatan itu akan sia-sia bila tidak menciptakan ekosistem ekonomi yang berpihak pada rakyat sendiri.

Seperti kata Bung Karno: “Politik tanpa ekonomi adalah omong kosong.”

Jangan biarkan pembangunan hanya jadi monumen kebanggaan. Jadikan ia sebagai penggerak ekonomi rakyat, ruang tumbuh bagi pengusaha dan tenaga kerja lokal, serta simbol keberpihakan yang nyata.

Dari Bojonegoro, oleh Bojonegoro, dan untuk Bojonegoro. Bukan sekadar slogan, tapi komitmen yang menuntut keberanian untuk berpihak.Saatnya wong Bojonegoro…

“Bahagia, Makmur, dan Membanggakan”

Penulis: Syafik