Proklamasi 17 Agustus: Tokoh-Tokoh Muda yang Jarang Dibicarakan

oleh 119 Dilihat
oleh
(pengibaran bendera Sang Merah Putih pada hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945)

Awal Ledakan Semangat Pemuda Menuju Proklamasi

Berita kekalahan Jepang pada 15 Agustus 1945 mengubah arah sejarah Indonesia. Sejak saat itu, jaringan pemuda bergerak cepat, sementara itu rapat-rapat kecil bermunculan di sudut-sudut Jakarta. Pada intinya, mereka menyepakati satu hal: kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hak yang harus mereka rebut.

Artikel ini menelusuri kronologi menuju Proklamasi 17 Agustus 1945 sekaligus menyorot peran tokoh-tokoh yang kerap terlupakan.

15 Agustus 1945: Pertemuan Rahasia di Pegangsaan

Malam itu, pukul 19.00, Chaerul Saleh memimpin rapat di ruang belakang bekas Institut Bakteriologi Pegangsaan. Di sana, hadir Wikana, D.N. Aidit, Arman Sjah, Djohar Nur, Pardjono, Abubakar, Sudewo, Subadio, dan Suroto Kunto.
Setelah berdiskusi, mereka menyimpulkan: Jepang kalah, maka mereka harus mendorong Proklamasi segera. Selanjutnya, mereka membentuk delegasi untuk menemui Soekarno dan Mohammad Hatta.

16 Agustus 1945: Tekanan kepada Soekarno–Hatta

Pada pukul 21.00, Wikana, D.N. Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto menemui Soekarno–Hatta di Pegangsaan Timur 56. Selain itu, hadir pula Mr. Ahmad Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Djopranoto, Dr. Samsi, dan Dr. Buntaran.
Para pemuda menegaskan perlunya Proklamasi segera. Namun, Soekarno ingin berkonsultasi dahulu dengan para pemimpin lain. Karena itu, para pemuda mengadakan rapat lagi pukul 24.00 di Tjikini 71 dan meneguhkan sikap: kemerdekaan lahir dari perjuangan rakyat, bukan pemberian Jepang.

Dini Hari 16 Agustus: Rengasdengklok dan Pembakaran Bendera Jepang

Menjelang pagi, Chaerul Saleh bersama Dr. Muwardi, Sukarni, dan Jusuf Kunto mengajak Soekarno–Hatta menuju Rengasdengklok. Mereka memilih lokasi itu karena pasukan PETA anti-Jepang di bawah Shodanco Umar Bahsan siap mengamankan situasi.
Setibanya di sana, pemuda dan PETA mengibarkan Merah Putih serta membakar bendera Jepang—tindakan simbolis yang menegaskan tekad untuk merdeka. Dengan demikian, mereka mengirim pesan jelas: tidak ada kompromi dengan pendudukan.

Baca Juga :   Tjokroaminoto: Suara yang Membangunkan Bangsa

Rengasdengklok: Tarik-Ulur Dua Prinsip

Di titik ini, perdebatan memuncak. Sebagian pihak mendesak Proklamasi tanpa menunggu; di sisi lain, ada yang mempertimbangkan jalur kompromi.
Pada sore hari, Mr. Ahmad Subardjo, Sudiro, dan Jusuf Kunto tiba untuk menjemput Soekarno–Hatta kembali ke Jakarta. Pukul 16.00, mereka menggelar perundingan bersama Soekarno, Hatta, Sukarni, serta perwira PETA Subeno dan Umar Bahsan. Hasilnya jelas: mereka menetapkan Proklamasi berlangsung di Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Malam 16 – Dini Hari 17 Agustus: Perumusan Naskah

Sesampainya di Jakarta, rombongan menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol 1. Di sana, Soekarno menulis konsep naskah, Hatta memberi perumusan akhir, dan Sayuti Melik mengetik versi final.
Suasana hening, namun semua menyadari: mereka sedang menulis kalimat yang akan mengubah nasib bangsa. Akhirnya, sekitar pukul 05.00, Soekarno dan Hatta menandatangani naskah Proklamasi.

17 Agustus 1945: Pidato Bung Karno dan Pembacaan Proklamasi

Tepat pukul 10.00, halaman rumah Pegangsaan Timur 56 penuh sesak. Sebelum membaca teks, Soekarno menyampaikan pidato pembuka yang menguatkan tekad rakyat:

“Perjuangan kemerdekaan ada naiknya dan ada turunnya, tetapi diwujudkan arah cita-cita. Nampaknya saja kita menjandarkan diri kita kepada Jepang, tetapi hakekatnya kita menyusun tenaga dan kekuatan sendiri… Kalau sekarang tiba saatnya, mengambil nasib dalam tangan sendiri — maka kita akan berdiri dengan kuat dan santosa… Sekarang tiba saat itu untuk menyatakan kebulatan tekad kita…”

Segera setelah itu, Soekarno membacakan Proklamasi. Latif Hendraningrat mengibarkan Merah Putih, sementara Suhud dan Trimurti mendampingi upacara. Pada momen itulah, Indonesia lahir sebagai negara merdeka.

Baca Juga :   HUT RI ke 77 “Pulih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Berikut Link Download Logonya

Profil Singkat Tokoh-Tokoh yang Jarang Disebut

  • PardjonoMengkoordinasikan jaringan pemuda dan ikut mematangkan strategi di Pegangsaan.

  • AbubakarMenghubungkan kelompok pemuda dan mendorong percepatan Proklamasi.

  • SudewoBerperan dalam rapat-rapat taktis di Pegangsaan.

  • SudiroMenjemput Soekarno–Hatta dari Rengasdengklok serta menjembatani komunikasi.

  • SubenoMewakili PETA Rengasdengklok dan memberi jaminan militer.

  • Umar BahsanMemimpin PETA Rengasdengklok dan mengamankan Soekarno–Hatta selama krisis.

Makna Peran Mereka

Pada akhirnya, Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan hanya hasil keputusan tokoh besar. Sebaliknya, momen itu lahir dari kombinasi tekanan politik, keberanian pemuda, dan soliditas jaringan rakyat. Tanpa dorongan mereka, Proklamasi berpotensi tertunda. Karena itu, menyebut nama-nama yang jarang muncul bukan sekadar pelengkap, melainkan pengembalian kredit sejarah.

Penulis : Syafik

Sumber : Sedjarah Perjuangan Pemuda Indonesia, Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P.D & K, Balai Pustaka, 1965. Bab: Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.