Kebangkitan dari Stagnasi
damarinfo.com – Setelah enam tahun berjalan di tempat, produksi padi Bojonegoro akhirnya menanjak tajam pada 2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi gabah kering giling (GKG) Bojonegoro naik dari 710 ribu ton pada 2024 menjadi 886 ribu ton pada 2025. Kenaikan sebesar 24,7 persen itu menjadi yang tertinggi dalam satu dekade terakhir—sebuah titik balik setelah masa stagnasi panjang sejak 2018.
Bojonegoro kini mencatatkan diri sebagai lumbung padi kedua terbesar di Jawa Timur, hanya terpaut tipis dari Lamongan yang mencapai 904 ribu ton. Pencapaian ini menandai perubahan arah sektor pertanian daerah yang sebelumnya cenderung stagnan.
Konteks Jawa Timur: Produksi Kembali Pulih
Secara umum, Jawa Timur juga mengalami kebangkitan produksi padi setelah periode penurunan sejak 2019. Setelah sempat jatuh hingga 9,27 juta ton pada 2024, provinsi ini kembali memanen 10,53 juta ton padi GKG pada 2025.
Kenaikan hampir 1,26 juta ton ini sebagian besar berasal dari daerah-daerah sentra seperti Lamongan, Ngawi, dan Bojonegoro—yang berhasil memperluas lahan tanam serta menyesuaikan pola tanam dengan iklim yang mulai stabil.
Dari sisi luas panen, Jawa Timur meningkat dari 1,61 juta hektare pada 2024 menjadi 1,83 juta hektare pada 2025, menunjukkan kembalinya optimisme petani menanam padi setelah beberapa tahun terakhir dihadang cuaca ekstrem dan harga gabah yang fluktuatif.
Bojonegoro: Enam Tahun di Titik Datar
Selama enam tahun terakhir, perjalanan Bojonegoro dalam sektor pangan lebih banyak diwarnai stagnasi.
-
2018: 752 ribu ton
-
2019: 743 ribu ton
-
2020: 702 ribu ton
-
2021: 674 ribu ton
-
2022: 704 ribu ton
-
2023: 706 ribu ton
-
2024: 710 ribu ton
Dalam periode 2018–2024, fluktuasi produksi hanya berkisar 5–6 persen. Meski luas panen cenderung stabil di kisaran 130 ribu hektare, produktivitas tidak banyak berubah. Faktor cuaca, berkurangnya lahan irigasi teknis, serta alih fungsi lahan menjadi penyebab utama stagnasi panjang itu.
Lonjakan 2025: Perluasan dan Efisiensi
Perubahan terjadi pada 2025. Luas panen padi melonjak dari 131 ribu hektare menjadi 159 ribu hektare, atau tumbuh 21,8 persen. Kenaikan ini diikuti peningkatan produktivitas dari 54,1 kuintal per hektare (2024) menjadi 55,4 ku/ha (2025).
Dari Stagnan ke Akselerasi
Jika ditarik garis waktu, produksi padi Bojonegoro dalam tujuh tahun terakhir memperlihatkan tiga fase utama:
-
2018–2021: Penurunan akibat cuaca ekstrem dan alih fungsi lahan.
-
2022–2024: Fase stagnasi, dengan rata-rata produksi di kisaran 700 ribu ton per tahun.
-
2025: Lonjakan besar, menembus 886 ribu ton, tertinggi sejak 2015.
Lonjakan tajam ini menunjukkan bahwa kebijakan intensifikasi lahan dan dukungan infrastruktur pertanian mulai terasa di lapangan.

Peta Pangan Jawa Timur Berubah
Dengan capaian 2025 ini, Bojonegoro menyalip Ngawi dalam urutan produksi terbesar di Jawa Timur.
-
Lamongan: 904 ribu ton
-
Bojonegoro: 886 ribu ton
-
Ngawi: 775 ribu ton
-
Jember: 686 ribu ton
Kenaikan ini mengubah peta lumbung pangan di Jawa Timur, di mana Bojonegoro kini menjadi titik keseimbangan antara wilayah pengairan Bengawan Solo dan lahan tadah hujan.
Selama enam tahun, Bojonegoro berada di garis datar produksi padi—tanpa lonjakan, tanpa penurunan berarti. Namun 2025 menjadi titik balik: lonjakan dua kali lipat dari tren rata-rata tahunan sebelumnya menandai kembalinya Bojonegoro sebagai salah satu penyangga pangan utama Jawa Timur.
Kisah ini menunjukkan, dengan dukungan kebijakan yang terarah, adaptasi petani terhadap iklim, dan pemanfaatan teknologi sederhana, stagnasi panjang pertanian daerah bukan tak mungkin diakhiri. Tahun 2025 menjadi buktinya—Bojonegoro akhirnya bangkit dari jeda panjang produksi.
Penulis : Syafik
sumber data : BPS Jawa Timur





