damarinfo.com – Pada tahun 1923 , sebuah rombongan ilmuwan Belanda dari Natuur-Historische Vereeniging memulai perjalanan penting ke wilayah Bodjonegoro . Tujuan mereka bukan hanya untuk mengamati kondisi alam atau sumber daya, tetapi juga untuk menyelami misteri masa lalu: makam batu Suku Kalang di Kawengan .
Desa Kawengan distrik Kedewan , yang terletak sekitar 20 kilometer dari Tjepoe , menjadi titik akhir dari ekskursi bulan September tersebut. Dengan konvoi delapan mobil dan jumlah peserta sekitar 35 orang , rombongan membawa serta payung, topi lebar, dan semangat pengetahuan ala para ilmuwan Eropa masa itu.
Sebelum mencapai lokasi utama, mereka sempat berhenti di tepi Sungai Solo , tempat para peserta bisa menikmati angin sepoi-sepoi dan menyaksikan kehidupan pedesaan yang damai. Namun, bagian tersulit dimulai ketika rombongan harus meninggalkan kendaraan dan melanjutkan perjalanan dengan kaki, menyusuri jalur Hutan Parengan .
Untungnya, Ir. S.S. Vos , Kepala Kehutanan (opperhoutvester) dari Bodjonegoro , telah memberikan instruksi agar jalur tersebut dibersihkan terlebih dahulu. Mengapa? Karena jika tidak, langkah 35 pasang sepatu kulit di atas daun jati kering akan terdengar seperti dentuman drum perang. Dan tentu saja, dalam suasana kolonial yang serba tertib dan rapi, bahkan suara daun pun ingin dikontrol.
Makam Batu: Pintu Masuk ke Dunia Suku Kalang
Setelah sampai di lokasi, para ilmuwan disambut oleh reruntuhan makam batu — struktur besar yang tersusun dari balok-balok batu tebal. Menurut informasi dari Ir. W. Zwart , ketua cabang Tjepoe dari perkumpulan tersebut, makam-makam ini pertama kali ditemukan oleh seorang pengurus hutan bernama Soepardi , yang menemukan sisa tulang belulang, manik-manik, dan tombak di dalamnya. Usia makam ini diperkirakan sekitar tahun 1620 — artinya, mereka sudah ada sebelum VOC lahir!
Namun, bukan hanya tentang arkeologi. Cerita tentang Suku Kalang mulai terungkap: mereka adalah kelompok masyarakat yang dianggap sebagai “kelas rendah” dalam hierarki Hindu-Jawa. Bahkan dalam pandangan administratif Belanda, mereka tetap menjadi golongan pinggiran. Mereka dipakai untuk pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “tidak suci” — seperti menebang pohon sakral atau merawat hutan jati yang nantinya akan diekspor ke Eropa.
Beberapa ahli menyebut bahwa nama Kalang berasal dari kata kepalang , yang berarti “terhalang” atau “terpinggirkan”. Ada juga yang menghubungkannya dengan rumput liar alang-alang , simbol kemiskinan dan nomadisme.
Bagi ilmuwan kolonial, ini bukan hanya soal sejarah, tapi juga soal pengelompokan sosial — cara mereka memahami masyarakat lokal agar lebih mudah dikontrol.
Ilmu Pengetahuan dan Pandangan Kolonial
Dalam ceramah singkatnya, Ir. Zwart menjelaskan bagaimana Suku Kalang dulu dianggap sebagai “paria” — golongan yang terasing. Ia mengacu pada kitab Castra-Manu (Manawa Dharmasastra) , yang membagi masyarakat Hindu menjadi empat kasta utama. Sementara Brahmana dan Ksatria mendapat posisi terhormat, Sudra dan Kalang dianggap sebagai kelas bawah. Bahkan, beberapa kalangan percaya bahwa Kalang bukanlah suku, melainkan kelas pekerja istana — seperti budak kerajaan.
Dan meskipun mitos menyebut bahwa mereka berasal dari keturunan anjing, bagi ilmuwan kolonial, hal ini bukan sekadar legenda. Ini adalah cara masyarakat Hindu-Jawa untuk melegitimasi ketidaksetaraan sosial — sebuah ide yang, entah sadar atau tidak, juga digunakan oleh sistem kolonial sendiri.
Kembali ke Kota, dengan Pandangan Ganda
Ketika matahari mulai naik tinggi, rombongan mulai pulang. Sekitar pukul setengah dua belas siang, mereka tiba kembali di Tjepoe . Panas dan lelah tak menghilangkan kesan mendalam dari perjalanan itu. Para ilmuwan kembali ke ruang rapat, dokumen, dan laporan resmi. Tapi dalam hati, mungkin mereka bertanya: apakah kita benar-benar memahami bangsa ini, atau hanya mencoba mengklaimnya?
Refleksi: Sejarah yang Diberi Nama Baru
Perjalanan ke Kawengan adalah contoh kecil dari usaha Belanda untuk memahami Indonesia — tetapi sayangnya, seringkali hanya dari sudut pandang ilmu pengetahuan kolonial , bukan dari perspektif masyarakat lokal. Meski begitu, ekskursi-ekskursi seperti ini membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman dan kompleksitas bangsa ini.
Kini, tugas kita bukan sekadar mengutip ulang laporan mereka, tapi menulis ulang sejarah dari sisi yang lebih adil dan manusiawi.
Penulis : Syafik
Sumber : (Soerabaijasch handelsblad edisi 11-9-1935, Diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan chat.qwen.ai)