Peresmian Kantor Kabupaten Bojonegoro Tahun 1933: Kisah dari Masa Kolonial

oleh 100 Dilihat
oleh
(Gedung kabupaten Bodjonegoro Tahun 1933. Gambar diambil dari sudut yang lain. Sumber : Majalah LOCAL TECHNIEK TECHNISCH ORGAAN VAN DE VEREENIGING VOOR LOCALE BELANGEN. Edisi Tahun ke 2 No 3, Juli 1933)

damarinfo.com — Suatu pagi di bulan April 1933, Bojonegoro tengah bersolek. Di jantung kota berdiri sebuah bangunan baru bergaya kolonial, dengan tiang-tiang kokoh dan atap tinggi yang anggun. Hari itu, Kamis, 6 April 1933, menjadi saksi dibukanya regentschapskantoor—kantor kabupaten—tempat segala urusan pemerintahan Bojonegoro akan dijalankan.

Suasana upacara terasa khidmat dan penuh harapan. Sejak Januari tahun itu, sebagian dinas telah menempati gedung ini, tetapi baru pada hari itu pemerintah menggelar peresmian resminya. Warga Bojonegoro menyebutnya “kantor kabupaten anyar,” simbol kemajuan bagi sebuah daerah yang sedang tumbuh di tepi Bengawan Solo.

Tamu-Tamu Kolonial dan Hadiah dari Perusahaan Minyak

Residen Bojonegoro, R. A. M. Mooy, hadir sebagai tamu utama dan mendapat kehormatan untuk membuka gedung secara resmi. Dari Surabaya, Gubernur Jawa Timur mengirim surat ucapan selamat, begitu pula pejabat dari daerah sekitar.

Sementara itu, dari Cepu, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM)—perusahaan minyak raksasa Belanda yang kala itu beroperasi di Blora dan Bojonegoro—mengirimkan hadiah istimewa berupa satu set asbak dan tabung tembaga. Hadiah kecil itu membawa makna besar karena menjadi simbol hubungan antara kekuasaan pemerintah kolonial dan kekuatan ekonomi industri minyak di tanah Jawa.

“De samenwerking tusschen bestuur en nijverheid moet tot zegen van het volk zijn.”
(Kerja sama antara pemerintah dan dunia industri harus menjadi berkat bagi rakyat.)

Selain itu, kehadiran para pejabat dan tokoh masyarakat menunjukkan betapa pentingnya gedung ini bagi tata pemerintahan Bojonegoro saat itu.

Suara Gamelan di Antara Jas dan Topi Putih

Meski acara itu bercorak kolonial, nuansa Jawa tetap terasa kuat. Perkumpulan pribumi Radjekwesi menyiapkan musik pengiring, dan suara gamelan mengalun lembut menembus udara pagi. Ketika Residen tiba, iringan musik berubah menjadi lagu Wilhelmus van Nassouwe—lagu kebangsaan Belanda—yang menandai dimulainya upacara resmi.

“De tonen van Wilhelmus mengen zich met het zachte geluid van de gamelan.”
(Nada-nada Wilhelmus berpadu dengan lembutnya bunyi gamelan.)

Di antara kursi tamu, para pejabat Belanda duduk bersebelahan dengan pejabat bumiputra. Mereka mengenakan pakaian tradisional dan blangkon yang rapi. Pemandangan itu menampilkan pertemuan dua dunia—timur dan barat—yang pada masa itu masih hidup berdampingan dalam bayang-bayang kolonialisme.

Baca Juga :   Jejak Emas Hitam Zaman Kolonial: Kisah Tjepoe, Kedewan, dan Panolan dalam Industri Minyak Indonesia

Pidato Sang Bupati (Regent): Antara Kebanggaan dan Harapan

Bupati Bojonegoro, Raden Adipati Arya Koesoemoadinegoro, membuka acara dengan pidato penuh rasa syukur. Ia menceritakan betapa sulitnya membangun gedung di atas tanah Bojonegoro yang lembek dan mudah tergenang air. Pondasi harus dibuat kuat, bahkan memakan biaya besar.

“Het was geen gemakkelijke taak om een sterk gebouw te maken op deze zachte grond,” ujar sang bupati dalam bahasa Belanda di hadapan tamu kolonial.
(Membangun gedung yang kokoh di atas tanah selembut ini bukanlah tugas mudah.)

Kemudian, ia menyampaikan terima kasih kepada sang arsitek, ir. B. de Vistarini, yang merancang bangunan dengan cermat; kepada F. Engel, kepala seksi teknik dari Solo; dan kepada F. Lot, direktur pekerjaan kabupaten, yang mengawasi pembangunan hingga selesai.

“Met dank aan allen die met hart en ziel aan dit werk hebben bijgedragen.”
(Terima kasih kepada semua pihak yang telah mencurahkan hati dan tenaga untuk pekerjaan ini.)

Gedung itu, ujarnya, bukan hanya tempat bekerja, tetapi juga lambang kemajuan Bojonegoro yang mulai menata diri.

Selain menyampaikan rasa syukur, sang bupati menegaskan bahwa kerja sama antara pejabat Belanda dan bumiputra harus membawa manfaat nyata bagi rakyat Bojonegoro.

“Laat dit gebouw een symbool zijn van vooruitgang en samenwerking.”
(Biarlah gedung ini menjadi lambang kemajuan dan kerja sama.)

Simbol Harapan dalam Sebuah Palu Perak

Setelah itu, Residen Mooy berdiri dan memberikan sambutan singkat. Ia menekankan pentingnya menyatukan berbagai dinas pemerintahan di bawah satu atap agar kerja pemerintah lebih efisien. Kemudian, ia secara resmi membuka kantor kabupaten Bojonegoro di hadapan para tamu.

Baca Juga :   Kapan Kayangan Api di Bodjonegoro Ditemukan? Berikut Catatan Belanda Tahun 1858

Sebagai tanda kenangan, ia menyerahkan sebuah palu ketua sidang dari perak kepada sang bupati—hadiah dari para pejabat Belanda dan bumiputra di Bojonegoro.

“Moge deze hamer slechts zelden worden gebruikt om orde te herstellen,” kata sang residen sambil tersenyum.
(Semoga palu ini jarang digunakan untuk memulihkan ketertiban di ruang sidang.)

Ucapan itu disambut tawa ringan para tamu, menambah kehangatan di tengah upacara yang penuh formalitas.

(Zijgevel van het regentschapskantoor en ingang van den kaboeppaten te Bodjonegoro/Tampak samping kantor kabupaten dan pintu masuk ke kantor kabupaten di Bojonegoro. Foto di edit dengan chatgpt.com)

Akhir Upacara dan Jejak yang Tertinggal

Setelah serangkaian sambutan, Bupati Koesoemoadinegoro menutup acara dan mengajak tamu-tamu berkeliling meninjau ruang-ruang kantor baru. Di luar, musik gamelan kembali mengalun, menandai berakhirnya sebuah hari bersejarah bagi Bojonegoro.

Kini, gedung megah itu sudah tiada. Tiang-tiang tinggi dan pintu besar dengan ornamen besi tuang khas Hindia Belanda telah hilang dari pandangan. Waktu menggantinya dengan bangunan baru dan wajah kota yang terus berubah.

Namun demikian, kisahnya masih hidup dalam arsip dan lembaran koran De Locomotief tanggal 8 April 1933. Dari berita berbahasa Belanda itu, kita masih dapat membayangkan Bojonegoro di masa lalu: sebuah kota kecil di tepi Bengawan yang tengah menapaki jalan menuju pemerintahan modern di bawah langit kolonial.

“Bodjonegoro toont den geest van vooruitgang.”
(Bojonegoro menampilkan semangat kemajuan.)

Penulis : Syafik

Keterangan sumber:
Disusun berdasarkan laporan koran De Locomotief: Samarangsch Handels- en Advertentieblad, edisi 8 April 1933, rubrik “BODJONEGORO – Opening regentschapskantoor”.