Damarinfo.com – Meski ratusan miliar digelontorkan untuk membiayai puluhan program pengentasan kemiskinan, angka kemiskinan di Kabupaten Bojonegoro nyaris tak bergeser. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan hanya 0,49 persen, dari 12,18% menjadi 11,69%, atau hanya berkurang 5.920 jiwa dari tahun 2023. Bahkan pada tahun 2023, jumlah penduduk miskin yang berhasil keluar dari garis kemiskinan hanya 150 orang.
Lalu, apa yang salah dari program-program pengentasan kemiskinan di Bojonegoro?
Program Melimpah, Hasil Minim
Berdasarkan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Dinas Sosial Kabupaten Bojonegoro tahun 2024, terdapat 18 program pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ini belum termasuk program dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur seperti Kredit Sejahtera (Prokesra), Bantuan Produktif untuk Penduduk Miskin, BLT Dana Desa, serta program dari perangkat daerah lain seperti bedah rumah, sambungan listrik gratis, hingga beasiswa sarjana untuk warga miskin.
Sasaran program didasarkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial. Sebanyak 249.159 warga Bojonegoro masuk dalam desil 1 (kategori termiskin) dari total 266.611 warga terdata pada desil 1.
Dari jumlah itu, 67,3 persen (167.616 KPM) menerima bantuan dari program pusat seperti BPNT, PKH, dan PKH Plus, sedangkan sisanya disasar melalui 15 program Dinas Sosial dan progam-program dari dinas-dinas yang lain.

Realisasi Anggaran Besar, Dampak Kecil: Ada yang Salah?
Tahun 2024, Dinas Sosial Bojonegoro mendapat alokasi Rp141,09 miliar, dengan realisasi mencapai Rp128,34 miliar atau 90,96 persen. Dari total itu:
- Rp110,89 miliar dihabiskan untuk Program Perlindungan dan Jaminan Sosial (mayoritas bantuan sembako dan tunai)
- Rp7,3 miliar untuk Rehabilitasi Sosial
- Rp1,4 miliar untuk Pemberdayaan Sosial
- Rp2,5 miliar untuk Penanganan Bencana
Ironisnya, program pemberdayaan ekonomi produktif (UEP) yang bertujuan memberdayakan warga miskin secara mandiri, hanya menyasar 125 orang atau 0,05 persen dari total penerima manfaat.
“Dari Rp141 miliar dana APBD, nyaris semuanya habis untuk bantuan konsumtif. Tak heran, angka kemiskinan stagnan.”
Dibanding APBD, Anggaran Dinsos Hanya 1,7 Persen
Anggaran Dinas Sosial Bojonegoro tahun 2024 sebesar Rp141,09 miliar memang tampak besar. Namun jika dibandingkan dengan total APBD Bojonegoro tahun 2024 sebesar Rp8,3 triliun, anggaran tersebut hanya sekitar 1,7 persen.
Artinya, dari setiap Rp100.000 uang rakyat, hanya Rp1.700 yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan. Padahal, kemiskinan adalah persoalan utama yang berdampak langsung pada pendidikan, kesehatan, dan masa depan generasi muda Bojonegoro.
Apakah proporsi ini mencerminkan keseriusan kita dalam memerangi kemiskinan?
Mengapa Penurunan Jumlah Miskin Sangat Kecil?
Mari kita lihat akar persoalannya:
1. Dominasi Bantuan Konsumtif Jangka Pendek
- 67,3% penerima mendapat bantuan seperti sembako dan tunai.
- Bantuan ini mengurangi beban hidup sementara, tetapi tidak meningkatkan produktivitas atau pendapatan.
2. Ketimpangan Alokasi Anggaran
- Hampir seluruh anggaran diarahkan untuk bantuan sosial.
- Program pemberdayaan produktif minim anggaran dan penerima.
3. Tidak Ada Strategi Keluar dari Bantuan (Exit Strategy)
- PKH/BPNT bersyarat, tetapi tidak menjamin kemandirian penerima.
- Tidak ada transisi menuju program mandiri seperti pelatihan atau usaha mikro.
4. Pendataan Lemah
- DTKS sering tidak akurat.
- Warga miskin bisa tidak terdata, sementara yang mampu justru menerima bantuan.
5. Faktor Eksternal
- Inflasi pangan dan energi menaikkan garis kemiskinan.
- Pertumbuhan ekonomi yang lambat membatasi penciptaan lapangan kerja.
Hitung-Hitungan Kinerja: Apa Artinya 5.920 Jiwa?
Jika dari 249.159 penerima, hanya 5.920 orang yang keluar dari kemiskinan:
- Artinya hanya 2,3% program yang benar-benar berdampak.
- Lebih dari 90% dana dan program tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan.
Solusi: Ubah Arah Kebijakan, Fokus pada Pemberdayaan
A. Reformasi Program dan Anggaran
- Alihkan minimal 30% anggaran ke program pemberdayaan ekonomi.
- Contoh: pelatihan kerja, kredit kelompok UMKM, inkubasi usaha.
B. Exit Strategy yang Jelas
- Batasi masa penerimaan bantuan sosial maksimal 3 tahun.
- Syaratkan penerima untuk ikut pelatihan atau program usaha.
C. Perbaikan Pendataan
- Gunakan verifikasi lapangan secara berkala.
- Sinkronkan data pusat-daerah untuk hindari duplikasi atau ketidaktepatan.
D. Pendekatan Multisektoral
- Libatkan dinas lain:
- Dinas PUPR: padat karya desa
- Dinas Pertanian: bantuan usaha tani keluarga
- Disnaker: pelatihan dan penempatan kerja
E. Target Berbasis Outcome, Bukan Sekadar Output
- Ukur hasil dari kenaikan pendapatan penerima, bukan hanya jumlah bantuan tersalur.
Saatnya Berani Berubah
Dana besar dan program melimpah belum tentu membawa hasil jika tak ada keberanian untuk mengubah orientasi dari bantuan ke pemberdayaan. Bojonegoro butuh pendekatan yang lebih strategis, kolaboratif, dan berbasis data akurat.
Sudah Saatnya “Bojonegoro Bahagia, Makmur dan Membanggakan”
Penulis : Syafik
Sumber data : LKIP Dinas Sosial Kabupaten Bojonegoro Tahun 2024.