Penanganan Kawasan Kumuh Jawa Timur: Mengapa Bojonegoro Tertinggal?

oleh 117 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by grok.com)

damarinfo.com – Di sudut Jawa Timur, di mana kota dan desa berlomba menata wajah mereka, ada cerita yang tak selalu indah: kawasan kumuh. Bukan sekadar tumpukan rumah reyot atau jalanan becek, kawasan kumuh adalah cermin ketimpangan—tempat di mana air bersih, toilet layak, dan harapan sering kali jadi barang langka. Data dari Sistem Informasi Kawasan Kumuh (SIKAWANKU) milik Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Jawa Timur (https://kawanku.pkpjatim.id/) menggambarkan perjuangan yang tak merata: beberapa daerah melaju kencang, sementara yang lain, seperti Bojonegoro, tertatih di belakang. Apa yang salah dengan kabupaten kaya minyak ini?

Jawa Timur: Peta Ketimpangan yang Mencolok

Bayangkan sebuah provinsi dengan 38 kabupaten dan kota, meski hanya 34 yang tercatat di SIKAWANKU. Masing-masing punya tugas menangani ratusan hektare kawasan kumuh. Data SIKAWANKU per 2024 menunjukkan bahwa Jember dan Kediri adalah bintangnya: Jember sudah menangani 222,66 hektare, sementara Kediri 182,05 hektare. Angka ini bukan sekadar statistik; itu berarti ribuan keluarga kini punya akses ke air bersih, jalan layak, atau rumah yang tak lagi bocor. Tapi di ujung lain, ada Bondowoso yang hanya menyentuh 2,71 hektare, Situbondo dan Sampang bahkan nol. Nol! Bagaimana mungkin daerah-daerah ini nyaris tak bergerak?

Tabel berikut merangkum 10 daerah teratas dalam penanganan kawasan kumuh di Jawa Timur:

Peringkat

Kabupaten/Kota

Luas Penanganan (Ha)

1

Kab. Jember

222,66
2

Kab. Kediri

182,05
3

Kab. Sidoarjo

113,78
4

Kab. Blitar

49,29
5

Kota Madiun

45,01
6

Kab. Nganjuk

45,68
7

Kota Blitar

47,11
8

Kab. Tuban

66,42
9

Kab. Malang

1,85
10

Kab. Sumenep

25,06

Lihatlah ketimpangannya: Jember sudah menangani 38,8% kawasan kumuhnya, Kediri 38%. Tapi di sisi lain, ada daerah yang seperti terjebak dalam waktu. Dan di tengah peta ini, ada Bojonegoro—kabupaten yang dikenal dengan kilang minyaknya, tapi hanya mampu menangani 25,47 hektare dari 141,36 hektare kawasan kumuhnya, menempatkannya di peringkat 11 dari 34 kabupaten/kota. Dengan capaian hanya 18%, Bojonegoro jauh tertinggal dari para pemimpin.

Baca Juga :   Program Bedah Rumah Tahun 2022 Masih Tunggu SK Bupati Bojonegoro

Bojonegoro: Potensi Besar, Langkah Kecil

Bojonegoro bukan kabupaten sembarangan. Sumber daya alamnya melimpah, infrastrukturnya bergeliat, tapi soal kawasan kumuh? Ceritanya lain. Dari 141,36 hektare kawasan kumuh yang terdata di SIKAWANKU, baru 25,47 hektare—atau 18%—yang tertangani. Angka ini menempatkan Bojonegoro di peringkat ke-11, di bawah Sumenep (25,06 ha) dan di atas Pamekasan (23,15 ha). Tapi jika dibandingkan dengan persentase keberhasilan, Bojonegoro jauh tertinggal dari Jember atau Kediri. Delapan belas persen. Itu artinya, lebih dari 80% kawasan kumuh di Bojonegoro masih menanti sentuhan perubahan.

Lebih Dekat: Analisa Internal Bojonegoro

Data internal dari Bojonegoro memperlihatkan bahwa beberapa desa dan kelurahan memiliki tingkat penanganan yang masih sangat minim, bahkan 0%, seperti:

  • Kepoh (Kec. Kepohbaru): 10,83 ha belum tertangani sama sekali

  • Tambahrejo (Kec. Kanor): 13,85 ha masih utuh kumuh

  • Ngumpakdalem (Kec. Dander): 7,52 ha belum disentuh

Hanya satu desa, yaitu Dengok (Padangan) yang berhasil ditangani sepenuhnya (100%). Sisanya? Banyak yang stagnan di bawah 30% penanganan.

Situasi ini menggambarkan adanya ketimpangan antar wilayah di dalam Bojonegoro sendiri, yang mencerminkan tantangan dalam perencanaan, anggaran, atau bahkan kemauan politik untuk menuntaskan masalah ini. Kepoh, misalnya, adalah potret nyata stagnasi: tidak ada saluran air, jalan layak, atau rumah yang diperbaiki. Di Tambahrejo, warga masih bergulat dengan banjir musiman karena drainase yang buruk. Mengapa desa-desa ini dibiarkan begitu lama? Apakah Pemkab Bojonegoro kesulitan mengalokasikan dana, atau ada prioritas lain yang mengalihkan fokus? Keberhasilan Dengok menunjukkan bahwa solusi mungkin; tapi mengapa tidak direplikasi ke desa lain?

Bojonegoro Tertinggal?

Jika Jember dan Kediri bisa melaju, mengapa Bojonegoro tidak? Data SIKAWANKU menunjukkan bahwa masalahnya bukan kurangnya informasi. Sistem ini memetakan setiap hektare kawasan kumuh dengan rapi, lengkap dengan lokasi dan status penanganannya. Jadi, apa yang salah? Kemungkinan besar, ini soal eksekusi. Anggaran mungkin ada, tapi apakah dialokasikan dengan tepat? Koordinasi antara pemerintah kabupaten, desa, dan masyarakat mungkin terjalin, tapi apakah efektif? Dan yang paling krusial: apakah penanganan kawasan kumuh benar-benar jadi prioritas di tengah gemerlap proyek infrastruktur lain?

Baca Juga :   Baru satu Permukiman Kumuh Tuntas Ditangani Pemkab Bojonegoro? Di manakah itu?

Bandingkan dengan Kediri. Di sana, hampir 38% kawasan kumuh sudah ditangani. Mungkin mereka punya model pendanaan yang lebih cerdas, seperti kemitraan dengan swasta atau program nasional seperti Kotaku (Kota Tanpa Kumuh). Atau mungkin mereka lebih agresif memanfaatkan data SIKAWANKU untuk memetakan prioritas. Bojonegoro, dengan potensi ekonominya, seharusnya bisa melakukan hal yang sama—atau bahkan lebih baik.

Saatnya Bojonegoro Bangkit

Kawasan kumuh bukan sekadar masalah estetika. Ini soal martabat. Soal anak-anak yang berhak bermain di lingkungan bersih, ibu-ibu yang tak perlu antre air di sumur tetangga, dan keluarga yang bisa tidur tanpa khawatir banjir. Bojonegoro punya semua yang dibutuhkan untuk mengubah cerita ini: data dari SIKAWANKU, sumber daya alam, dan potensi ekonomi. Yang kurang mungkin hanya satu: tekad untuk menjadikan penanganan kawasan kumuh sebagai prioritas.

Langkah pertama? Pemkab Bojonegoro bisa mulai dengan memetakan ulang desa-desa tertinggal seperti Kepoh dan Tambahrejo, menggunakan SIKAWANKU untuk menentukan intervensi spesifik—apakah itu saluran air, rumah layak huni, atau jalan baru. Libatkan warga, bukan sekadar sebagai penerima, tapi sebagai mitra yang punya suara. Dan belajarlah dari Jember atau Kediri: apa rahasia mereka? Apakah anggaran yang lebih fleksibel? Tim yang lebih gesit? Atau sekadar visi yang lebih jelas?

Jawa Timur sedang berlari menuju masa depan yang lebih layak. Bojonegoro tidak boleh tertinggal lagi. Karena di setiap hektare kawasan kumuh yang tersisa, ada harapan yang menunggu untuk ditebus.

Penulis : Syafik

Sumber  data : (https://kawanku.pkpjatim.id/home/datakumuh, diunduh 17-5-2025)