Bojonegoro, damarinfo.com – Di tengah optimisme pendapatan daerah yang sempat membuncah tahun lalu, Bojonegoro kini menghadapi kenyataan pahit. Pemerintah Pusat memangkas dana transfer untuk tahun 2026 secara signifikan. Total Transfer Keuangan Daerah (TKD) yang semula diproyeksikan mencapai Rp4,51 triliun, kini tinggal Rp3,35 triliun — penurunan terdalam dalam sepuluh tahun terakhir.
DBH Migas Terjun Bebas
Sumber utama gejolak fiskal ini berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA)—khususnya migas. Pemerintah menetapkan DBH SDA Bojonegoro tahun 2026 sebesar Rp942,9 miliar, padahal pada 2025 nilainya mencapai Rp1,95 triliun. Dengan kata lain, Bojonegoro kehilangan hampir Rp1 triliun atau turun 51,6 persen. Penurunan paling drastis terjadi di DBH Migas, yang jatuh dari Rp1,94 triliun menjadi Rp941,03 miliar.
Harapan yang Pupus di Jakarta
Anggota DPRD Bojonegoro Lasuri awalnya berharap pemotongan bersifat sementara dan akan dicatat sebagai kurang salur, sehingga dana itu bisa disalurkan pada tahun berikutnya. Namun saat mengunjugi Kantor Kementerian Keuangan RI di Jakarta pada Jumat 10-10-2025, ia mendapat jawaban yang mengejutkan.
“DBH Migas itu fix, hanya disalurkan 50 persen saja; jadi tidak ada yang namanya kurang salur/kurang bayar.” Kata Pria yang juga Ketua PAN Bojonegoro ini.
Pernyataan itu memupus ekspektasi DPRD bahwa pemotongan bisa dituntaskan kemudian.
Lasuri mengatakan pihak kementerian tidak memberikan dasar hukum yang jelas terkait kebijakan tersebut. Padahal, menurutnya, UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) sudah mengatur mekanisme pembagian DBH, termasuk DBH Migas. Dengan demikian, pemotongan seharusnya tetap dicatat sebagai kurang salur yang bisa disalurkan kembali.
Ia juga menambahkan, ketika ditanya soal kemungkinan pemotongan ulang pada 2027, pihak Kemenkeu tak memberi jawaban pasti.
Usulan Penyeimbang: Naikkan DAU
Tak ingin hanya mengeluh, Lasuri bersama anggota Komisi B dan Pimpinan DPRD Bojonegoro dan perwakilan Pemkab Bojonegoro mengajukan solusi pada pertemuan itu. Mereka meminta agar Dana Alokasi Umum (DAU) dinaikkan untuk menutupi kebutuhan belanja rutin, terutama gaji pegawai yang mencapai Rp2,4 triliun.
“Kalau DAU bisa naik setara kebutuhan belanja pegawai, dampak pemotongan DBH mungkin tak terlalu berat bagi daerah,” ujar Lasuri.
Ia menambahkan, pemerintah pusat seharusnya memberi perlakuan khusus bagi daerah penghasil migas.
“Daerah penghasil seharusnya mendapat pengecualian. DBH-nya tetap dihitung berdasarkan persentase lifting migas sesuai UU No. 1 Tahun 2022,” imbuhnya.
Daerah Penghasil di Persimpangan
Pemotongan DBH ini menimbulkan kegelisahan yang lebih luas: apakah daerah penghasil akan terus menanggung risiko kebijakan pusat yang berubah-ubah? Meski demikian, Pemkab dan DPRD menyatakan akan terus memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil.
Bojonegoro berharap pusat tidak hanya menghitung lifting migas sebagai angka, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di atas sumber daya itu.
Penulis : Syafik