Madrasah: “Anak Tiri” dalam Kebijakan Pendidikan Nasional

oleh 167 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by canva.com)

damarinfo.com -Madrasah telah menjadi bagian dari sejarah panjang pendidikan di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam, madrasah telah mencerdaskan generasi bangsa sejak sebelum kemerdekaan. Namun, dalam kebijakan pendidikan nasional, madrasah masih diperlakukan sebagai institusi kelas dua.

Dalam hal sarana dan prasarana, madrasah tertinggal jauh dibanding sekolah umum. Dari sisi pendanaan, alokasi anggaran untuk madrasah selalu menjadi sisa-sisa kebijakan pendidikan. Kini, ketidakadilan itu semakin nyata setelah Kementerian Agama memangkas BOS untuk madrasah hingga lebih dari 50 persen, dengan dalih efisiensi anggaran.

Efisiensi Anggaran: Mengapa Madrasah yang Dikorbankan?

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 memang meminta seluruh kementerian melakukan efisiensi anggaran. Namun, pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kementerian. Artinya, setiap kementerian berhak menentukan sektor mana yang akan dikurangi anggarannya.

Ironisnya, Kementerian Agama justru memilih memangkas anggaran BOS untuk madrasah, alih-alih merasionalisasi belanja pegawai, perjalanan dinas, atau anggaran lain yang tidak berdampak langsung pada pendidikan.

Sementara itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tidak mengutak-atik BOS untuk sekolah umum. Artinya, sekolah-sekolah di bawah Kemendikdasmen tetap berjalan normal, sementara madrasah—yang mayoritas swasta dan bergantung pada BOS—dipaksa bertahan dalam ketidakpastian.

Baca Juga :   Dana BOS Belum Cair, Pengelola Madrasah Swasta Resah

Madrasah Swasta: Bertahan di Tengah Krisis

Dampak pemangkasan ini paling terasa di madrasah swasta, yang selama ini tidak mendapatkan dana dari pemerintah selain BOS. Berdasarkan data EMIS Kementerian Agama:

  • 80–90 persen madrasah di Indonesia adalah madrasah swasta.
  • RA (setingkat TK) bahkan 100 persen dikelola oleh swasta.
  • Total siswa madrasah: 10.464.634 anak.
    • Madrasah negeri: 1.798.955 siswa (8,4 persen).
    • Madrasah swasta: 8.665.679 siswa (91,6 persen).
  • Total guru madrasah: 878.484 orang.
    • Guru negeri: 138.297 orang (15,7 persen).
    • Guru swasta: 740.187 orang (84,3 persen).

Akibat kebijakan ini:
Honor guru tertunda, membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Operasional madrasah terganggu, menghambat proses belajar-mengajar.
Kualitas pendidikan menurun, karena minimnya dukungan fasilitas.

Sungguh tidak masuk akal jika pemerintah meminta madrasah swasta bertahan tanpa bantuan, sementara mereka juga dilarang memungut sumbangan dari wali murid. Di mana keadilan bagi mereka?

Baca Juga :   Fraksi PKB DPR Tolak Pemangkasan Dana BOS Madrasah, Maman Imanul Haq: Ini Masalah Serius!

Ketidakadilan dalam Alokasi Anggaran Pendidikan

Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan minimal 20 persen APBN untuk pendidikan. Namun, apakah anggaran ini dibagi secara adil?

Jika BOS untuk sekolah-sekolah di bawah Kemendikdasmen tetap utuh sementara BOS untuk madrasah dipangkas drastis, apakah ini bukan bentuk diskriminasi?

Jika sekolah  dan madrasah sama-sama bagian dari sistem pendidikan nasional, mengapa hanya madrasah yang dikorbankan?

Saatnya Negara Berpihak pada Madrasah

Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Pemangkasan anggaran BOS madrasah adalah bentuk ketidakadilan yang nyata, yang berpotensi merugikan jutaan siswa dan guru.

Apakah pemerintah masih akan menutup mata terhadap realitas ini?
Ataukah suara jutaan siswa dan guru madrasah akhirnya akan didengar?

Keputusan ada di tangan para pemangku kebijakan. Saatnya memastikan bahwa setiap anak bangsa mendapatkan hak pendidikan yang setara, tanpa diskriminasi.

Penulis : Syafik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *