damarinfo.com – Di tengah hiruk-pikuk modernisasi Surabaya pada masa kolonial, sebuah inisiatif sederhana namun penuh makna muncul untuk menyelamatkan jejak sejarah kota. Pada tahun 1940, Ir. Heida, kepala dinas pekerjaan umum Surabaya, melangkah dengan gagasan yang kini terasa visioner: mendokumentasikan makam-makam suci di kota ini, lengkap dengan legenda yang menyertainya.
Langkah ini, sebagaimana diberitakan surat kabar lokal kala itu, bukan sekadar pelestarian fisik, melainkan upaya menjaga jiwa sejarah Surabaya yang kian terdesak oleh pembangunan.
Surabaya, kota yang pada masa itu tengah bertransformasi menjadi pusat perdagangan dan pangkalan angkatan laut Hindia Belanda, nyaris kehilangan jejak masa lalunya. Gedung-gedung tua Eropa yang masih berdiri dianggap tak cukup berharga untuk dilestarikan, sementara permukiman awal Eropa telah lenyap ditelan waktu.
Pembaruan kota—dari pelebaran jalan, pembangunan lapangan terbang, hingga kompleks militer—mendorong situs-situs bersejarah ke tepian, nyaris terlupakan. Di tengah gelombang modernisasi ini, Ir. Heida melihat nilai tak ternilai dari makam-makam suci, yang bukan hanya tempat peristirahatan, tetapi juga pusat spiritual dan budaya masyarakat Jawa.

Makam Suci: Jantung Spiritual Jawa
Dalam budaya Jawa, makam bukan sekadar tempat mengenang yang telah tiada. Makam suci, atau kramat, adalah ruang suci yang menghubungkan dunia nyata dengan leluhur. Makam-makam ini, yang sering menjadi peristirahatan raja, bangsawan, atau tokoh suci, dirawat dengan penuh hormat.
Pohon kamboja dan andjuwag menghiasi area makam, memenuhi udara dengan aroma bunga putih yang harum. Ritual ziarah dilakukan pada hari-hari tertentu—hari ke-100, ke-1000 setelah kematian, atau pada bulan ke-8 tahun Hijriyah—dengan doa dan persembahan sebagai wujud penghormatan kepada arwah leluhur.
Beberapa makam suci di Surabaya memiliki daya tarik yang melampaui batas lokal. Misalnya, makam Raden Rachmat di Kampung Ampel, yang dianggap sebagai pendiri Surabaya. Ia, seorang keponakan istri Raja Majapahit dengan darah Champa dan Arab, membangun masjid tertua di Koepang dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah awal kota.
Makamnya, bersama masjid megah di Ampel, menjadi pusat ziarah yang ramai dikunjungi. Begitu pula pemakaman tua di Taman Boengkoel, yang diyakini berasal dari abad ke-9. Di tempat ini, raja dan pejuang dari masa lampau dimakamkan, dan hingga kini, pasangan pengantin baru masih memohon berkah di sana, sementara air ajaib dalam gendi tua dipercaya menyembuhkan penyakit.
Upaya Kolonial yang Bijaksana
Inisiatif Ir. Heida untuk mendokumentasikan makam-makam suci ini menunjukkan kepekaan budaya yang jarang ditemui di kalangan kolonial. Ia tak hanya memotret makam-makam tersebut, tetapi juga mencatat legenda yang melekat padanya, memastikan kisah-kisah itu tak hilang ditelan zaman.
Salah satu contoh nyata pelestarian adalah pemakaman di Taman Boengkoel, yang tetap terjaga berkat kebijaksanaan Ir. Maclaine Pont, perancang kawasan Darmo. Meski dikelilingi jalan raya yang sibuk, pemakaman ini tetap berdiri tenang di bawah naungan pohon-pohon rindang, dilindungi tembok yang kokoh.
Tak hanya itu, Ir. Heida juga mencatat keberadaan makam suci yang tersembunyi, seperti yang terletak di gang sempit di utara Praban, dekat Jalan Princesselaan. Keberadaan makam ini, yang bahkan tak banyak diketahui warga Surabaya sendiri, menunjukkan betapa kaya dan tersembunyinya warisan sejarah kota ini. Dengan mendokumentasikan situs-situs ini, Heida tak hanya menyelamatkan fisik makam, tetapi juga kisah-kisah yang menjadi denyut nadi budaya Jawa.
Warisan untuk Masa Depan
Surabaya, seperti Rotterdam pada masanya, adalah kota muda yang terus berkembang. Namun, di balik kemajuan pelabuhan dan perdagangannya, kota ini menyimpan harta karun berupa makam-makam suci yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarahnya.
Upaya Ir. Heida pada 1940 adalah pengingat bahwa pelestarian sejarah tak selalu tentang monumen megah atau bangunan Eropa yang megah. Kadang, warisan terbesar justru terletak pada hal-hal sederhana seperti makam suci, yang menyimpan cerita leluhur dan spiritualitas masyarakat.
Kini, di era modern, pelestarian makam-makam suci ini tetap relevan. Situs-situs seperti makam Raden Rachmat di Ampel atau pemakaman tua di Taman Boengkoel bukan hanya warisan budaya, tetapi juga pengingat identitas Surabaya sebagai kota yang lahir dari perpaduan Timur dan Barat.
Dengan semangat yang sama seperti Ir. Heida, kita diajak untuk terus menjaga dan menceritakan kembali kisah-kisah ini, agar Surabaya tak pernah melupakan akar sejarahnya.
Penulis : Syafik
Sumber artikel : Koran De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, edisi 06-06-1940, diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan chat.deepseek.com