damarinfo.com – Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bojonegoro saat ini sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perubahan Perda Nomor 5 Tahun 2023 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jawa Timur: Ramai Pendapatan, Sunyi Kemandirian
Kalau Pendapatan Asli Daerah (PAD) diibaratkan dapur rumah tangga, maka banyak kabupaten/kota di Jawa Timur masih mengandalkan catering alias dana transfer pusat. Dari 38 daerah, hanya segelintir yang betul-betul berani “masak sendiri”—Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Malang. Mereka punya dapur yang hidup, chef andal, dan bahan baku melimpah.
Tahun 2024 mencatat Kota Surabaya sebagai kampiun PAD dengan pendapatan lokal mencapai Rp6,5 triliun, dan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencapai 58,28%. Artinya, Surabaya sudah tidak bergantung pada dana transfer untuk menjalankan roda pemerintahannya. Disusul oleh Kota Malang (41,66%), Kabupaten Sidoarjo (41,65%), dan Gresik (40,80%).
Namun di sisi lain, sebagian besar daerah lain masih “memanaskan makanan” dari pusat. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah di Jawa Timur hanya berkisar 15–20 persen. Dengan angka serendah itu, kemandirian fiskal masih jadi impian yang jauh di angan.
Bojonegoro: Besar Nilainya, Kecil Kemandiriannya
Bojonegoro, yang sering dibicarakan karena kekayaan migasnya, ternyata belum cukup mandiri secara fiskal. Total PAD tahun 2024 sebesar Rp904 miliar menjadikannya peringkat ke-6 se-Jatim secara nominal. Tapi ketika kita melihat rasio PAD terhadap total pendapatan daerah, Bojonegoro hanya di angka 16,41%. Ini menempatkannya di posisi ke-20 dari 38 daerah, alias papan tengah ke bawah.
Lebih mengejutkan lagi, lebih dari 59% PAD Bojonegoro tahun 2024 berasal dari pos “Lain-lain PAD yang sah”. Artinya, pendapatan yang benar-benar berasal dari pajak dan retribusi (pendapatan langsung dari aktivitas ekonomi masyarakat) masih sangat kecil. Pajak daerah hanya menyumbang Rp157 miliar, dan retribusi Rp51 miliar. Selebihnya? Masih dari sumber tak langsung yang rawan tidak berkelanjutan.
KUA Perubahan 2025: Sadar Ketergantungan, Siap Berbenah?
Untungnya, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro mulai sadar akan rendahnya kemandirian fiskal. Dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Perubahan Tahun 2025, disebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir, kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah hanya rata-rata 15,70%.
Pemerintah pun mengakui bahwa ketergantungan pada dana eksternal masih sangat tinggi, dan pemanfaatan teknologi untuk pemungutan pajak dan retribusi masih belum optimal—menyebabkan potential loss alias pendapatan yang seharusnya bisa masuk, malah bocor atau tidak tercatat.
Namun, langkah strategis mulai dirancang:
-
Intensifikasi pemungutan pajak dan retribusi berbasis potensi dan data,
-
Penataan tarif dan regulasi agar lebih sesuai dengan kondisi daerah,
-
Peningkatan pelayanan berbasis IT, termasuk peningkatan kualitas SDM aparatur,
-
Optimalisasi kinerja BUMD dan BLUD, serta
-
Inovasi digital, seperti SIKOWASDAL SISPADA, Smart Report System, dan E-SPPT.
Dalam dokumen P-RKPD 2025, PAD diproyeksikan naik menjadi Rp1,064 triliun, naik Rp21,56 miliar dari APBD induk. Namun lonjakan terbesar justru bukan dari pajak atau retribusi, melainkan dari pergeseran pos “Lain-lain PAD yang sah” ke retribusi daerah—dari Rp648 miliar menjadi Rp113 miliar, dan dari Rp28 miliar melonjak menjadi Rp563 miliar. Ini bisa jadi penyesuaian klasifikasi administratif, bukan pertumbuhan riil.
Tetangga Tak Jauh, Tapi Nasib Bisa Beda
Mari kita intip tetangga Bojonegoro: Lamongan, Tuban, Ngawi, dan Nganjuk.
-
Lamongan: PAD Rp561 miliar, rasio 15,46%. Tanpa DBH migas, tapi cukup stabil.
-
Tuban: PAD Rp683 miliar, rasio 20,63%, sedikit lebih tinggi dari Bojonegoro. Indikasi bahwa industri lokal mulai menopang APBD.
-
Ngawi: PAD hanya Rp331 miliar, rasio 12,83%. Ini daerah dengan struktur PAD kecil, tapi relatif stabil.
-
Nganjuk: PAD Rp481 miliar, rasio 17,17%, cukup bersaing dengan Bojonegoro meski tak punya migas.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa nilai PAD yang besar tidak menjamin kemandirian fiskal, apalagi jika tidak ditopang dengan struktur ekonomi lokal yang sehat.
Menanam Kemandirian, Menuai Masa Depan
Bojonegoro hari ini seperti rumah besar yang dindingnya berlapis emas migas, tapi dapurnya masih sepi. Pemerintah mungkin bisa membangun banyak fasilitas, tapi ketika sumber utama berasal dari luar, kita tahu itu bukanlah rumah yang benar-benar mandiri.
Saatnya mengubah arah: dari mengandalkan dana transfer dan pos “lain-lain”, ke pembangunan ekosistem ekonomi lokal—pasar tradisional yang hidup, BUMD yang untung, desa yang mandiri, dan masyarakat yang sadar pajak.
Karena kemandirian bukan dibangun dari sekali gebrakan, tapi dari keberanian mencatat setiap rupiah pajak dan retribusi, serta dari kesadaran bahwa masa depan tak bisa terus ditopang dari “luar dapur”. Semoga Bojonegoro bisa segera menghidupkan kompornya sendiri—dan menyajikan masa depan yang lebih matang dan berdaya.
Penulis : Syafi
Sumber data : e database Kementerian Dalam Negeri Dokumen Rancangan KUA Perubahan Kabupaten Bojonegoro tahun 2025.