Damarinfo.com – Tradisi maleman yakni tanggal-tanggal ganjil di bulan Ramadhan, menjadi tradisi turun temurun di Indonesia khususnya di Jawa, tentu pada zaman penjajahan tradisi tersebut sudah ada. Bentuk perayaannya ternyata jauh berbeda yang ada sekarang. Sebuah koran berbahasa belanda “De Preanger-bode” edisi 20-07-1915. Menulis artikel tentang maleman dengan judul “ HET VIEREN DER MALEMANS” (Merayakan Maleman).
Dalam koran tersebut dituliskan bahwa ada Seorang pegawai di Jawa Tengah menulis kepada Redaksi Koran tersebut tentang Perayaan Maleman (pada halaman 2 kolom ke 2 ) Dalam surat tersebut dituliskan tentang perayaan maleman di Kerajaan (Tidak dijelaskan Keraton Yogyakarta atau Surakarta).
Di dalam tulisan tersebut dijelaskan perayaan “Malemans” yakni 5 malam di hari ganjil, antara tanggal 20 dan 30 bulan itu; jadi tanggal 21 (malem selikur), tanggal 23 t (malem telu), tanggal 25 (malem selawé), tanggal 27 (malem pitoe) dan tanggal 29 (malem songo).

Perayaan maleman pertama , di malem selikur, dirayakan oleh semua orang di aloon-aloon dengan menikmati hidangan yang disiapkan untuk maleman malam itu. Orang-orang tidak mengeluarkan biaya karena semua ditanggung oleh para pangeran.
Pada empat maleman berikutnya, yaitu. tanggal 23, 25, 27 dan 29, yang dirayakan di Kraton. Semua pejabat sultan yang memiliki gaji lebih dari 5 gulden sebulan, wajib pergi ke Kraton dan mengikuti maleman.
Namun dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa besarnya biaya yang harus ditanggung oleh para pejabat keraton yang bergaji rendah tersebut menyebabkan para pejabat yang bergaji rendah harus berhutang agar tidak malu.
Juga ditulis harapan si pembuat surat yakni agar pemerintah mengubah perayaan maleman, sehingga para pejabat tidak lagi menanggung beban yang terlalu berat
Penulis : syafik
Sumber: Koran “De Preanger-bode” edisi 20-07-1915 diunduh dari laman https://www.delpher.nl/ (Jum’at 14-4-2023)