Mentjari Bodjonegoro
Solo Valley, Warisan Belanda Buah dari Politik Etis

oleh -
oleh
(Lukisan aquarel dari Sungai Bengawan Solo sekitar 1880 (sumber: KITLV Belanda))

Damarinfo.com – Solo Valley kembali ramai jadi perbincangan masyarakat Bojonegoro, pasalnya Pemerintah Republik Indonesia berencana membangun jalan Tol yang sebagian besar lokasinya berada di tanah yang masuk kawasan Solo Valley.

Solo Valley sendiri adalah proyek yang digagas oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1893, proyek ini adalah salah satu dari proyek perbaikan sistem irigasi untuk wilayah Bodjonegoro dan sekitarnya. Munculnya proyek ini setelah adanya kebijakan politik etis atau politik ereschuld (balas budi) kepada negara jajahan, yang disampaikan Ratu Wihelmina, dalam pidato pembukaan di parlemen Belanda yang mengatakan bahwa Pemerintah kolonial Belanda di penghujung era Sistem Liberal memiliki tugas moral yang merupakan tujuan, yaitu memperbaiki ekonmi koloni dan pribumi.

Baca Juga :   Jarak Rumah Warga Kabunan ini Tinggal Sejengkal dengan Sungai Pacal

Bodjonegoro mendapat perhatian khusus karena Bodjonegoro yang berada di wilayah karesidenan Rembang adalah yang termiskin, terbelakang dalam soal sosial-ekonominya. Prof de Vries menyebutnya Bojonegoro sebagai daerah yang menuju ”kematian” pada saat itu.  Upaya yang harus dilakukan adalah memperaiki Irigasi, edukasi, emigrasi, pertanian, perbaikan jalan-jalan, kredit pertanian dan memajukan peningkatan Indstri

(Peta rencana pekerjaan Solo Vallei pada 1892 (sumber: Ravesteijn, 1987)

Tujuan utama proyek raksasa itu adalah untuk menghentikan timbunan pasir wegast. Mengubah Jalan laut kecil agar dapat dilalui perahu-perahu ke pelabuhan Surabaya. Proyek itu meliputi: pertama mengubah mulut sungai Solo, dan kedua penggalian kanal untuk irigasi.

Baca Juga :   Musim Penghujan, Polisi Pastikan Keselamatan Pengemudi dan Penumpang Perahu Penyebrangan di Bengawan Solo

Semula Pemerintah menganganggarkan dana sebesar 19 milyar gulden, akan tetapi kemudian membengkak menjadi 38 milyar gulden, karena proyek itu bertambah dengan pembangunan kanal-kanal untuk irigasi di daerah-daerah yang ada di lembah Sungai Solo. Khususnya di Bojonegoro, karena petani Bojonegoro tidak bisa menggunakan air irigasi dari kanal yang ada di desa Ngablak. Pembengkakan biaya ini menyebabkan pemerintah belanda menghentikan proyek Solo Valley tersebut dan membiarkan lahan-lahan yang sudah disiapkan tersebut.

Penulis : Syafik

Sumber : Jurnal Vol. 1/Maret 2014,  “ REALISASI POLITIK ETIS DI BOJONEGORO PADA AWAL ABAD XX Kajian Sosial Ekonomi , Mudji Hartono, Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta,

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *