“Emoh didjadjah” (tidak mau dijajah) sebuah pernyataan dari rakyat Bojonegoro saat militer Belanda ingin menguasai kedua kalinya. Wilayah Bojonegoro bagian dari daerah yang terjadi pergolakan pasca-kemerdekaan.
Peristiwa diawali dengan mendaratnya tentara Belanda di Glondong Kabupaten Tuban, pada tanggal 19 Desember 1948 jam 05.00 WIB. Pasukannya terus melakukan serangan ke arah Toeban dan Djatirogo. Pasukan Indonesia menerapkan strategi boemi hangoes atas obyek-obyek vital, komunikasi maupun politik.
Di Bodjonegoro sendiri pada saat itu tinggal satu batalyon yang beroperasi, yakni Batalyon Basoeki Rahmad. Taktik boemi hangus dilaksanakan dengan membumi hanguskan Pabrik Minyak di Cepu, Wonosari dan sekitarnya. Pada tanggal 23 Desember 1949, Pasukan Indonesia juga meledakan jembatan kaliketek di Bojonegoro.
Meski hanya tinggal satu batalyon dan beberapa kompi teritorialnya ternyata menyulitkan Belanda untuk menguasai Kota Bojonegoro. Belanda baru dapat masuk ke Kota Bojonegoro pada tanggal 16 Januari 1949, diatas puing-puing bangunan sebagai pernyataan “emoh didjajah.”
Beberapa catatan perlawanan pada masa agresi militer Belanda yang dicatat oleh Komando Daerah Militer (Kodam ) VIII Brawidjaya dalam bukunya :Sam Karya Bhirawa Anoraga” Sejarah Militer Kodam VIII/Brawidjaja yang diterbitkan oleh Semdam VIII Brawijaya tahun 1968, dalam bab Gerilja di Bodjonegoro, di antaranya adalah :
- Pada tanggal 23 Juli 1949, Kompi TEKO melakukan pengejaran tentara Belanda yang menyebabkan tewasnya tujuh tentara penjajah itu. Di antaranya Komandan Patroli Belanda Letnan Satu Tekeen dan lima tentara Belanda ditawan. Yakni Kopral Roepers, Marine Teurling, Marine Bodt, Marine De Boor, Marine Rewentien.
- Pada Nopember 1949 terjadi gencatan senjata di Indonesia. Namun tidak menyulutkan semangat perlawanan rakyat dan tentara di Bojonegoro. Hal ini ditandai dengan terbunuhnya Residen Boneka Belanda Gondosoewignjo.
Di Bodjonegoro sendiri setelah proklamasi kemerdekaan dilaksanakan penyempurnaan organisasi militer, yakni Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pembentukanya berjalan lancar dengan mengakomodir para tentara Pembela Tanah Air (PETA), HEIHO dan para pemuda yang sudah bergabung dalam kelasykaran.
- BKR Karesidenan Bojonegoro dipimpin oleh Soedirman
- BKR Kabupaten Bojonegoro dipimpin oleh Dibjo Soebroto
- BKR Kabupaten Lamongan dipimpin oleh Sukarsono
- BKR Kabupaten Tuban dipimpin oleh Soeharto
Meski dengan persenjataan yang terbatas, para anggota BKR ini membantu perlawanan tentara Indonesia di Surabaya untuk membendung masuknya tentara sekutu.
Beginilah sejarah mencatat perlawanan rakyat Bojonegoro dan tentara Indonesia di masa agresi Belanda kedua, “emoh didjajah” menjadi semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Bojonegoro.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko
Sumber : Buku “Sam Karya Bhirawa Anoraga” Sedjarah Militer Kodam VIII/Brawidjaja yang diterbitkan oleh Semdam VIII Brawijaya tahun 1968