Nama Sostrodilogo terpampang di jembatan penghubung antara Jalan MH Thamrin Kota Bojonegoro dengan Kecamatan Trucuk dan dibawahnya dialiri Sungai Bengawan Solo. Awal diresmikian pertama kali, dua tahun silam oleh Bupati Bojonegoro Anna Mu’awanah, tentu belum banyak tahu siapa sebenarnya nama tokoh dimaksud.
Setelah ditelusuri, Sosrodilogo adalah salah satu pesohor di Kabupaten Bojonegoro. Ya, nama lengkapnya adalah Raden Tumenggung Sosrodilogo tercatat sebagai Bupati Bojonegoro pada tahun 1827 -1828, saat daerah ini masih bernama Kabupaten Radjekwesi. Sosrodilogo menjadi bupati setelah menyerbu Radjekwesi dan menguasai kabupaten yang berada di bawah kekuasaan Kesulatanan Jogjakarta. Hal ini berbeda dari bupati-bupati pada zaman kolonial, yang kesemuanya harus mendapatkan persetujuan dari pejabat Belanda.
Pertempuran Rajekwesi ini mendapat catatan khusus dari Residen Semarang Lawick Van Pabst dalam suratnya kepada Komisaris Jenderal Du Bus, 2 Desember 1827. Lawick Van Pabts menyampaikan “In de gegeven omstandigheden geen grooter onheil overkomen dan onrust in het Zuidelijkste district van Rëmbang —Radjëg wesi — welks bevolking tot het slechtste en moeilijkst te besturen gedeelte van heel Java behoort….” (tidak ada bencana yang lebih besar daripada kerusuhan di distrik paling selatan Rëmbang -Radjeg Wesi – yang kerusakannya termasuk yang terparah dan paling sulit dikelola dari seluruh Jawa/diterjemahkan secara bebas dengan google translate)
Cerita berawal pada pagi hari pukul 10, tanggal 28 Nopember 1827, saat para petinggi kabupaten Rajekwesi berkumpul di teras rumah bupati, menunggu perintah dari markas besar belanda di Semarang, maklum saat itu sedang berkecamuk perang jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar keributan, ternyata ada 60 orang bersenjata sedang berusaha membebaskan tahanan yang berada disamping rumah bupati Rajekwesi.
Para prajurit Kabupaten Rajekwesi pun memberi tahu pada petinggi Kabupaten Rajekwesi diantaranya adalah patih dan jaksa untuk segera melarikan diri. Karena tahanan telah dikuasai oleh para pemberontak –begitu pemerintah belanda menyebut para pejuang- dan para tahanan telah dibebaskan. Dan ikut menyerang prajurit yang ada di rumah bupati tersebut. Tanpa perlawanan para pemberontak berhasil menguasai rumah bupati karena yang tertinggal hanya satu juru tulis perwakilan belanda. Para pemberontak pun meluapkan amarahnya dengan membakar barang=barang dan bangunan yang ada di sekitar rumah bupati tersebut.
(Foto Cover Buku Djava Orlog, P.J.F Low –Mayor Infanteri Tentara Belanda -dalam bukunya De Java – Orloog (Perang Jawa) Tahun 1825 – 1830 DITERBITKAN OLEH MASYARAKAT BATAVIA SENI DAN ILMU PENGETAHUAN. Buku ini didigitalisasi pada tahun 2013 oleh Internetarchive.com)
Peristiwa pemberontakan tersebutpun sampai kepada Kapten De Munk yang kebetulan berada di Ngawi. Kabar yang diterima dari pejabat kompeni di Padangan menyebutkan, bahwa Kabupaten Rajekwesi telah dikuasai oleh 500 orang pemberontak.
Peristiwa pemberontakan pimpinan Sosrodilogo ini membuat rakyat di wilayah kabupaten Radjekwesi ikut melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat –hanya beberapa hari para pemberontak dapat menguasai kawedanan diwilayah Rajekwesi. Tanggal 30 Nopember 1827 para pemberontak sudah menguasai Baureno.
Peristiwa ini membuat kabupaten sekitar Rajekwesi pun khawatir, di antara kabupaten Tuban, Lamongan, Blora dan Ngawi. Kompeni pun mengirimkan bala bantuan militerm baik tentara maupun peralatan. Seperti yang dikirimkan untuk Kabupaten Tuban, saat kapal yang mengangkut bantuan militer untuk Surabaya singgah di Tuban, akhirnya harus menurunkan pasukan dan peralatan militer di Tuban untuk mengantisipasi masuknya pemberontak di wilayah rengel. Bantuan militer yang diterjunkan ke Tuban diantaranya 500 prajurit, 200 senapan, 6000 peluru dan 500 batu api.
Begitu pun para tentara di Kabupaten Lamongan, Karesidenan Surabaya memerintahkan kepada Bupati Lamongan dan Gresik untuk menyiapkan tentara di Babad, karena Baureno sudah dikuasai oleh para pemberontak.
Sebenarnya Kompeni belum tahu pasti siapa pemimpin para pemberontak di Rajekwesi tersebut, baru setelah mendapatkan laporan dari Kapten Quentin yang diperintahkan untuk melakukan pengamatan dari Bengawan Solo bagian selatan, kompeni mengetahui bahwa pimpinan pemberontak adalah Sosrodilogo.
Kapten Quentin juga melaporkan bahwa yang memimpin pemberontakan adalah Sosro di Logo yang merupakan wakil komandan pasukan dari Kasultanan Jogjakarta. Dan pernah bergabung dengan pasukan belanda saat memandamkan pemberontakan di wilayah Jogjakarta. Sosrodilogo adalah adik ipar dari Pangeran Diponegoro sekaligus kesayangannya.
Dalam laporanya Kapten Quentin juga menyebutkan, Sosrodilogo meninggalkan Kasultanan setelah tidak dipromosikan menjadi komandan pasukan dan kembali ke tempat kelahiranya di Rajekwesi. Karena Sosrodilogo adalah putra dari mantan Bupati Rajekwesi.
Dan pada tanggal 27 Januari 1828, Pemberontakan Sosrodilogo dapat diredam oleh Belanda dan dikabarkan tokoh ini melarikan diri ke Madiun. Meski hanya berlangsung 3 bulan, perang yang dipimpin Sorodilogo ini cukup merepotkan Belanda. Dalam catatan kompeni, jumlah pasukan yang harus dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan di Radjekwesi ini adalah 39 perwira, 1994 tentara, 118 Pasukan berkuda.
Pertempuran pimpinan Sorodilogo ini ditulis dengan rinci berdasarkan dokumen-dokumen laporan dan korespondensi para perwira menengah dan tinggi kompeni, Oleh P.J.F Low –Mayor Infanteri Tentara Belanda -dalam bukunya De Java – Orloog (Perang Jawa) Tahun 1825 – 1830 DITERBITKAN OLEH MASYARAKAT BATAVIA SENI DAN ILMU PENGETAHUAN. Buku ini didigitalisasi pada tahun 2013 oleh Internetarchive.com pada tahun 2013.
Mohon dukungan masyarakat Yogyakarta, Bojonegoro dan rekan sejarawan yang mencintai dan menghormati pahlawan bangsa.
Karena situasi kala itu, Eyang Sasradilaga sebenarnya tidak ingin diketahui keberadaannya. Tetapi karena saat ini makam beliau yang seharusnya menjadi cagar warisan sejarah dan budaya, diusik dijual untuk paket pesugihan dan dirusak tangan tangan tidak bertanggung jawab, maka twrpaksa saya mengungkap keberadaan beliau.
Setelah pangeran Diponegoro ditangkap, sebenarnya eyang Nggung menjadi tahanan kota di Yogyakarta, wafat karena usia dan ingin tetap dimakamkan di Yogya. Selebihnya monggo rekan rekan sejarawan meneliti makam sederhana beliau di kota gede yang sebenarnya adalah makam keluarga beliau dan para pengikut setia yaitu 9 orang kepala pasukan, eyang senopati, eyang Pergolo & eyang Lowo ijo.
Makam sederhana beliau yaitu makam Sambirejo terletak di pedukuhan Sambirejo, Jl. Nyi Wiji Adhisoro, kecamatan Kotagede, kodya Yogyakarta, DIY.(makam Sambirejo, di Waze dan google map sudah ada).
Terima kasih.
Mohon dukungan masyarakat Yogyakarta, Bojonegoro dan rekan sejarawan yang mencintai dan menghormati pahlawan bangsa.
Karena situasi kala itu, Eyang Sasradilaga sebenarnya tidak ingin diketahui keberadaannya. Tetapi karena saat ini makam beliau yang seharusnya menjadi cagar warisan sejarah dan budaya, diusik dijual untuk paket pesugihan dan dirusak tangan tangan tidak bertanggung jawab, maka twrpaksa saya mengungkap keberadaan beliau.
Setelah pangeran Diponegoro ditangkap, sebenarnya eyang Nggung menjadi tahanan kota di Yogyakarta, wafat karena usia dan ingin tetap dimakamkan di Yogya. Selebihnya monggo rekan rekan sejarawan meneliti makam sederhana beliau di kota gede yang sebenarnya adalah makam keluarga beliau dan para pengikut setia yaitu 9 orang kepala pasukan, eyang senopati, eyang Pergolo & eyang Lowo ijo.
Makam sederhana beliau yaitu makam Sambirejo terletak di pedukuhan Sambirejo, Jl. Nyi Wiji Adhisoro, kecamatan Kotagede, kodya Yogyakarta, DIY.(makam Sambirejo, di Waze dan google map sudah ada).
Terima kasih.