Damarinfo.com – Ternyata sejak zaman penjajahan Belanda seorang kepala desa atau disebut Petinggi sudah dipilih secara langsung oleh rakyat. Jabatan petinggi adalah jabatan prestisius pada saat itu dengan segala kewenangan dan gaji yang diterima. Termasuk juga para perangkat desa atau biasa disebut Pamong.
Sebuah koran berbahasa belanda “ Bataviaasch nieuwsblad” Edisi 12-01-1912 dalam laporan berjudul “de dessa-verkiezing” (Pemilihan Desa). Menyebutkan gaji untuk Kepala Desa adalah f 200 (200 gulden, jika di kurskan dengan uang saat ini, nilainya Rp. 14.840.000, (https://www.kaskus.co.id/thread/554828ea12e257b2258b4567/konversi-nilai-mata-uang-zaman-hindia-belanda-dgn-rupiah-ri-hari-ini/) Berikutnya gaji untuk tjarik (Sekretaris Desa) sebesar f 40 sampai f 60 atau sekitar Rp. 2.960.000 – 4.452.00, untuk Djogoboyo dan Kebayan besaran gajinya f 20 atau sekitar Rp. 1.484.000.
Laporan ini juga menuliskan pemilihan kepala desa di Desa Bareng Kecamatan Soegiwaras (sugihwaras), ada tiga kandidat (disebut dengan Djago) yang maju pada Pilkades tersebut. Salah satunya tentu didukung oleh penguasa saat itu yakni Asisten (Camat). Djago yang mendapat dukungan dari Camat diberikan kesempatan khusus untuk berkampanye melalui radio.
Kecurangan juga mewarnai pelaksanaan Pilkades saat itu, diantaranya adalah Intimidasi untuk para pemilih menjadi salah satu strategi pemenangan, seperti yang dilakukan oleh salah satu calon di Desa Bareng dengan menahan ternak yang dimliki pemilih di tahan oleh kandidat tertentu hingga hari pemlihan untuk memastikan pemilih tersebut memilih kandidat tersebut. Pada waktu itu ada 63 ternak dikurung selama satu hari satu malam hingga malam pencoblosan.
Meski demikian para pemilih di Desa ini senang sekali karena mendapatkan hiburan pada malam hari pencoblosan dari kandidat tersebut, dengan menyediakan minum-minuman keras gratis juga makanan gratis seperti sate kambing.
Keesokan harinya pada saat pemilihan Controller (pengawas), Patih, dan Asisten Wedono (Camat) tiba. Tiga djago mengambil tempat duduk mereka, dan di belakang mereka para pemilih, yang memberikan suara mereka untuk mereka. Asisten membantu pada kesempatan seperti itu, dan jika pemilih belum mengambil kursi mereka, dia menyuruh para pemilih agar segera berada di belakang kandidat.
Jadi sistem pemungutan suaranya cukup sederhana yakni para pemilih berdiri dibelakang para kandidat yang dipiilihnya. Pemenangnya tentu adalah kandidat dengan jumlah pemilih terbanyak yang ada di belakangnya
Setelah semua proses pemungutan suara berakhir, controller (pengawas) pemilihan menanyakan kepada para kandidat “apakah ada keluhan?” dan pasti jawaban para pemilih “Mboten Kanjeng”. (Tidak Tuan)
Meski demikian ada juga yang tidak puas dengan proses Pilkades di Desa Bareng pada waktu itu, seorang lelaki tua kurus bernama Pak Marijem memberanikan diri menghadap Bupati di Bodjonegoro untuk melaporkan kecurangan yang terjadi. Dihadapan Bupati, Pak Marijem yang merupakan pemimpin oposisi duduk ditanah sementara sang Bupati dengan marah mondar-mandir.
Pak marijem lalu menyampaikan “koelo nyoewoen sak lerese mawon, Ndoro “ (Saya minta dilaksanakan sebagaimana mestinya saja Tuan). Pak Marijem pun mendapatkan pukulan lalu ditanya lagi oleh Asisten “apakah sudah puas dengan masalah ini atau belum?” Pak Marijem pun menjawab “Sampun Ndoro” (Sudah Tuan).
Penulis : Syafik
Sumber : “ Bataviaasch nieuwsblad” Edisi 12-01-1912