Bodjonegoro menyimpan banyak cerita politik dan kekuasaan. Pun ketika soal perebuatan kekuasaan pada zaman Kolonial Belanda di abad 18 silam. Tentu di dalamnya ada drama, trik dan intrik politik ketika itu. Premisnya adalah, bahwa untuk menjadi orang pesohor dan pemuncak, ada pelbagai cara yang layak atau sebaliknya.
Cerita menarik pula terjadi di zaman kolonial Belanda, tepatnya soal perebuatan Bupati Bodjonegoro. Yaitu saat Raden Aryo Reksokusumo yang mendapatkan jabatan boepati menggantikan Raden Sosrokoesomo. Padahal seharusnya keturunan Raden Tirtonoto yang berhak menempati jabatan tersebut.
Dalam catatan Pemerintah Bojonegoro keluarga Tirtonoto menjabat bupati dua kali. Yakni Raden Tirtonoto 1 dan menjabat tahun 1844 – 1878 yang merupakan bupati ke 17. Setelahnya diteruskam putranya, yaitu Raden Adipati Tumenggung Tritonoto II menjabat selama 10 tahun yakni 1878 – 1888.
Peristiwa tersebut direkam oleh Tirto Adi Surjo, dalam Soerat Kabar Medan Prijaji edisi Saptoe 18 Juni 1910. Tulisan Tirto Adi Soerjo diawali dengan undangan pernikahan yang diterima dari Raden Mas Tirtoprojo yang waktu itu menjabat sebagai Asisten Wedono Kedunggalar Regent Ngawi, yang akan menikah dengan Raden Ajeng Soetijah Putri dari Raden Mas Tondo Winoto pensiunan Wedono Koetoe Ponorogo.
Selanjutanya Tirto Adi Soerjo mulai menceritakan tentang Raden Mas Tritoprojo adalah putra dari Almarhum Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Boepati Bodjonegoro. Dan punya kakak Raden Mas Amidjojo Asisten Wedono Soegihwaras Bodjonegoro.
Pada saat Almarhum Raden Mas Tumenggung Tirtonoto meninggal, putra-putranya masih kecil-kecil, sehingga tidak bisa menggantikan posisi bapaknya untuk menjadi Boepati Bodjonegoro. Meski berdasar pada Regeerings Reglement (Peraturan Pemerintah) Belanda, pasal 69, seharusnya keturunan dan keluarga dari Raden Tumenggung Tirtonoto lah yang berhak menjadi Boepati Bodjonegoro. Begitu juga dengan keluarga dari Raden Tumenggung Tirtonoto yang lain, tidak dapat menggantikan posisinya, karena masih menjadi pegawai rendahan.