Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu kabupaten yang unik, sehingga menarik para sarjana dari Belanda untuk melakukan penelitian. Salah satu keunikannya Kabupaten Bojonegoro adalah tentang nama Kabupaten dan Ibu Kotanya yang berganti-ganti, ini tidak lazim untuk sebuah Kabupaten atau Kota di Indonesia. Sebut saja Tuban, sejak dulu sudah ada nama itu dan tidak pernah berganti, Surabaya pun demikian dan juga kabupaten/kota lain di Jawa.
Sejarah Kabupaten yang dulu pernah menjadi bagian dari Jawa Tengah ini, berawal dari Kadipaten Djipang, selanjutnya berubah menjadi Radjekwesi dan terakhir bernama Bodjonegoro atau juga disebut dengan Bodjanegara.
Seorang sarjana dari Belanda Jacobous Nourduyn dalam Appendix (lampiran) 1 dari buku berjudul “Further Topographical Notes On The Ferry Charter Of 1358, With Appendices On Djipang And Bodjanegara” (yang diterbitkan dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 124 (1968), no: 4, Leiden, 460-48) Menjelaskan tentang “DJIPANG, RADJEG WESI AND BOD JANEGARA”
Salah satu catatan menarik dari adalah bahwa Bowerno atau Baureno ternyata pernah menjadi Ibu Kota Kadipaten Djipang pada tahun 1816, ini terjadi saat Kabupaten Djipang dimasukan dalam wilayah karesidenan Rembang, sebelumnya Kadipaten Djipang masuk wilayah Karesidenan Grobokan.
J. Noorduyn menjelaskan bahwa sumber-sumber kontemporer menunjukkan bahwa kota Bodjanëgara dan namanya berasal dari tahun 1828. Dari tahun 1824 sampai 1828 kabupaten Bodjanëgara disebut Radjëg-wèsi, dan sebelum itu namanya adalah Djipang.
Perubahan nama ini masing-masing kabupaten disertai dengan pemindahan ibu kota kabupaten ke tempat lain. Fakta tersebut, sejauh dapat dipastikan, diberikan di bawah ini secara lebih rinci dan dalam urutan historisnya.
Menurut laporan Belanda abad ke-17 dan ke-18, Djipang adalah nama salah satu daerah kerajaan Jawa pada masa itu (Schrieke 1957: 104, 154, 157, 159, 161-162, 178, 183-184, memberi referensi ke De Jonge a.o.). Ia diperintah oleh seorang tumenggung (Schrieke 1957 : 159 = De Jonge IX : #7).
Setelah pembagian kerajaan pada tahun 1755, wilayah Djipang menjadi bagian dari Keraton Yogyakarta (Lauw 1889: 116; De Jonge X: 375). Semua distrik diserahkan pada awal tahun 1811, kecuali Grobogan, dikembalikan kepada Sultan oleh Pemerintah Inggris dalam pasal 7 perjanjian 28 Desember 181 1 (Van Deventer 1891 : 318), tetapi setelah tindakan militer Raffles melawan Yogyakarta dan Surakarta, pada tahun-tahun berikutnya distrik yang sama diserahkan lagi kepada Inggris dalam pasal 3 perjanjian 1 Agustus 1812 (Van Deventer 1891 : 322)
Atas dasar perjanjian ini, grobogan dan Jipang diserahkan kepada Inggris pada akhir tahun 1812. Pemerintah Inggris menjadikan daerah-daerah tersebut menjadi dua karesidenan yang terpisah pada bulan Januari 1813, dan kemudian disatukan menjadi satu karesidenan pada bulan Januari 1814, Residen yang kemudian bertempat tinggal di Padangan (atau Purwodadi di Grobogan).
Karesidenan Grobogan dan Jipang ini dihapuskan pada bulan Agustus 1815, Jipang bergabung dengan Karesidenan Rëmbang pada bulan Januari 1816. Ibukota pemerintahan dJipang saat itu adalah Bawërno.
Menurut data Raffles, pada tahun 1815 Jipang terdiri dari: 6 kabupaten: Panolan, Padangan, Radjëg-wësi, Sëkarang, Bawërno dan ‘Jenawun’ (yaitu Tinawun) (Raffles 1817 I1 : 268, dan ‘Peta Jawa’ di Jil. I). Peta S Van den Bosch tahun 1818, yang jelas-jelas lebih rendah daripada bahwa dari Raffles, menunjukkan distrik yang sama dengan pengecualian Padangan dan Tinawun, dan dengan tambahan Duri antara Sëkarang dan Bowërno.
Ketika pada tahun 1824 Karesidenan Rembang dan kabupaten-kabupatennya dimekarkan kembali tujuannya adalah agar lebih efisien dalam mengelola hutan jati di wilayah ini, Kabupaten Djipang diganti namanya menjadi Radjëg-wësi, dan asisten residen Djipang “dipindahkan ke Radjëg-wesi “.
Sehingga akhirnya, pada bulan Februari 1825, Kabupaten Radjëg-wësi terdiri dari distrik Bowërno, Bësuki (kemudian disebut Pëlëm), Tëmayang, Ngumpak, Padangan dan Tinawun, dengan ibu kota (“Hoofdneprij”) sebagai distrik ke-7 yang terpisah

Beberapa tahun kemudian, di tengah Perang Jawa (1825-1830), terjadi pemberontakan besar-besaran di bagian Karesidenan Rembang ini, yang dianggap Belanda sebagai salah satu pemberontakan yang paling sulit ditaklukkan.
Pemberontakan ini berlangsung dari tanggal 28 November 1827 sampai Maret 1828 dan dipimpin oleh Raden Tumënggung Sasra di Laga, yang merupakan anak dari mantan Bupati Radjëg-wësi (yaitu Purwo Nëgoro yang digulingkan) dan juga saudara ipar Diponëgoro.
Ibukota kabupaten dikuasai oleh pemberontak selama beberapa waktu, dan setelah direbut kembali dari mereka pada tanggal 26 Januari 1828, diputuskan oleh pemerintah Belanda untuk memindahkan situsnya dengan alasan keamanan.
Sesuai dekrit yang berlaku tanggal 17 Februari 1828 (Sibenius Trip 1897: 301), ibu kota baru didirikan di desa Kebo Gadung di tepi kanan Sungai Solo, sekitar 5 km. di sebelah utara ibu kota lama lama, yang terletak di dekat Ngumpak.
Kabupaten itu pertama kali disebut Radjëg-wësi Baru, tetapi atas permintaan Bupati, nama kabupatennya dan ibu kota barunya diubah menjadi Bodjanegara dengan SK tanggal 25 September 1828 (Sibenius Trip 1897: 355). Dan dari sinilah mulai muncul kota dan kabupaten Bodjangara.
Akibat perkembangan tersebut, nama lama Djipang menghilang dari kabupaten ini dan hanya dipertahankan sebagai nama sebuah desa (‘Djipang-pasar’) yang terletak di sebelah barat Sungai Solo, di Kecamatan Panolan yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Blora.
Nama Radjëg-wësi benar-benar hilang dari peta, meskipun itu juga merupakan nama yang sangat tua di wilayah ini. Disebutkan dalam sebuah prasasti tahun 1414 (Krom 1931 : 447), di mana dikatakan bahwa Rajëg-wësi ditaklukkan oleh Mëdang. Mungkin bekas distrik Nama Radjëg-wësi benar-benar hilang dari peta, meskipun itu juga merupakan nama yang sangat tua di wilayah ini.
Kemungkinan bekas distrik Radjëg-wësi di bagian barat Kabupaten Bodjanëgara merupakan kelanjutan dari (wilayah) Rajëg-wësi abad ke-15 ini.
Jelas dari diskusi di atas bahwa kota Radjëg-wësi yang ada dari tahun 1824 sampai 1828 merupakan pemukiman baru. Karena itu, jika pernah ada kota kuno di Rajëg-wësi, situsnya tidak diketahui. Namun, ada sedikit kemungkinan bahwa itu harus diidentifikasi dengan desa Pagër-wësi saat ini yang terletak sekitar 7 km. di sebelah barat kota Bodjanegara di tepi kiri Sungai Solo (peta 52/XL A), karena kedua nama ini berarti ‘pagar besi’.
Disclaimer : Tulisan di atas merupakan terjemahan dari buku berbahasa Inggris dengan menghilangkan beberapa bagian dari tulisan aslinya.
Penulis : Syafik