Makanan Bergizi Gratis Ala Pemerintah Kolonial Belanda di Bojonegoro dan Lamongan

oleh 113 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by chatgpt)

damarinfo.com – Bayangkan sebuah pagi tahun 1938 di pelosok desa-desa Ngimbang, Mantoep, hingga Sugihwaras. Asap tipis mengepul dari dapur umum yang berdiri di halaman rumah para kepala desa. Warga berdatangan membawa boengkoesan daun pisang, antre dengan sabar menunggu giliran. Yang mereka tunggu bukan bantuan uang, melainkan dua porsi makanan siap santapnasi jagung, tempe, sayuran, dan ikan kering. Di tengah krisis pangan akibat gagal panen dan banjir, inilah upaya pemerintah kolonial Belanda menyelamatkan rakyatnya dari kelaparan.

Lebih dari delapan dekade berlalu, Indonesia kini tengah bersiap meluncurkan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) untuk pelajar, salah satu program unggulan Presiden Prabowo. Tapi sejarah telah mencatat: program serupa, bahkan dengan skala besar dan sistematis, pernah dilakukan di tanah ini—jauh sebelum kita menyebutnya “ketahanan pangan“.

Krisis yang Mengguncang Bojonegoro dan Lamongan Selatan

Tahun 1937–1938 adalah masa yang berat. Di distrik Ngimbang, 18,5% penduduk—sekitar 15 ribu orang—menderita kekurangan gizi. Jagung, makanan pokok mereka, gagal panen. Padi lebih banyak diekspor ke kota-kota besar seperti Soerabaja. Para pekerja proyek pemerintah menjadi lemah, bukan karena malas, tapi karena tubuh tak lagi sanggup diajak bekerja.

Melihat kondisi ini, Residen Bojonegoro menginstruksikan intervensi besar-besaran. Dienst van Volksvoeding en Gezondheid (D.V.G.), semacam gabungan BPOM dan Kementerian Kesehatan kala itu, diturunkan ke lapangan. Di bawah pimpinan dokter Tumbelaka, mereka memetakan wilayah rawan gizi, termasuk Kecamatan Dander, Sugihwaras, Kedungadem, dan Kanor.

30.000 Porsi Sehari: “MBG” Versi Kolonial

Solusinya bukan bantuan uang atau pembagian bahan mentah—yang mudah dijual atau dijadikan benih. Pemerintah kolonial memilih makanan jadi. Setiap warga miskin, dari anak-anak hingga lansia, menerima dua kali makan sehari. Totalnya, lebih dari 30 ribu porsi disiapkan setiap hari. Menu pokok: campuran nasi dan jagung (1:4), lengkap dengan sayur, tempe, ikan asin, dan cabai.

Baca Juga :   Mentjari Bodjonegoro Seratus Tahun Bodjonegoro

Distribusinya diatur rapi:

  • Dapur umum dikelola oleh kepala desa (petinggi)

  • Penerima terdaftar, dipanggil satu per satu

  • Verifikasi harian dilakukan dengan cap jempol

  • Asisten wedana memastikan tak ada penyimpangan dana

(Potongan Koran : Soerabaijasch Handelsblad, 07-03-1938)

Soerabaijasch Handelsblad dalam edisi 7 Maret 1938 mencatat bahwa makanan “dimasak dan dibungkus di rumah para petinggi desa,” lalu “dibagikan kepada orang miskin di pagi dan sore hari, di bawah pengawasan pemerintah setempat.”

Bahkan, menurut koran berbahasa Belanda itu, program ini mencapai lebih dari 30.000 penerima per hari di wilayah-wilayah terdampak seperti Ngimbang, Sambeng, dan Mantoep.

Berikut salah satu data distribusi untuk Distrik Ngimbang:

Kecamatan Jumlah Penduduk Penerima Makanan Persentase
Ngimbang 18.801 4.396 23,4%
Sambeng 22.161 4.972 22,4%
Bloelock 19.703 1.151 5,8%
Mantoep 21.782 4.767 21,9%
Total 82.447 15.286 18,5%

Biaya operasional terhitung murah: 6 sen untuk dewasa dan 3,5 sen untuk anak-anak—setara dengan Rp12.500 dan Rp7.250 jika disesuaikan ke nilai rupiah tahun 2025. Program ini juga memberi insentif kecil bagi kepala desa yang menjalankan dapur umum, mirip dengan dana operasional MBG sekarang.

Seleksi Ketat dan Jalan Menuju Kemandirian

Menariknya, program ini bukan sekadar bantuan jangka pendek. Evaluasi berkala dilakukan. Di Desa Mantoep, dari 868 penerima makanan pada Januari 1938, sebanyak 533 orang dinyatakan sehat sebulan kemudian dan dikeluarkan dari daftar. Dari jumlah itu, 153 orang dipindahkan ke program padat karya—memperbaiki jalan, jembatan, waduk—dengan upah sebagian tunai, sebagian makanan.

Baca Juga :   Babinsa Kodim Bojonegoro Kawal Pendistribusian Makan Bergizi Gratis

Koran yang sama juga melaporkan bahwa para penerima bantuan dikelompokkan dalam tiga kategori: “yang masih lemah tetap diberi makanan siap saji, yang mulai pulih mendapat jagung mentah, dan yang sehat dipindahkan ke proyek kerja umum.”

Anak-anak tetap dipertahankan dalam program karena dianggap kelompok rentan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa bahkan di masa kolonial, ada strategi transisi menuju kemandirian, bukan bantuan terus-menerus.

Cerminan Masa Lalu untuk Program MBG Masa Kini

Jika dibandingkan, MBG era Presiden Prabowo menargetkan pelajar dengan anggaran Rp10.000 per siswa untuk makanan dan Rp5.000 untuk operasional. Fokusnya adalah investasi jangka panjang untuk perbaikan gizi dan peningkatan kualitas pendidikan.

Namun, program D.V.G. di masa lalu juga mengajarkan beberapa hal penting:

  • Pengawasan dan pencatatan penting untuk mencegah kebocoran

  • Kolaborasi dengan tokoh lokal memperlancar distribusi

  • Evaluasi berkala dan klasifikasi penerima mempercepat transisi dari bantuan ke kemandirian

Yang membedakan: program kolonial bersifat darurat, sementara MBG modern bersifat preventif dan strategis.

Dapur Darurat, Pelajaran Abadi

Program makanan bergizi kolonial bukan hanya soal mengenyangkan perut. Ia adalah bentuk intervensi sosial dalam menghadapi krisis. Dari dapur-dapur darurat di halaman rumah petinggi desa hingga pendataan jempol dan makanan bungkus daun pisang, ada semangat organisasi, kedisiplinan, dan keberpihakan pada rakyat kecil.

Kini, di era yang lebih modern, semangat serupa hidup kembali melalui MBG. Mungkin kita bisa belajar dari masa lalu: bahwa memberi makan rakyat bukan sekadar program, tetapi investasi untuk daya tahan dan martabat bangsa.

Penulis : Syafik

Sumber : (Soerabaijasch Handelsblad, edisi 7 Maret 1938 Digitalisasi oleh Delpher.nl, Perpustakaan Nasional Belanda, diterjemahkan dengan grok.com)