damarinfo.com – Di sebuah dusun kecil bernama Bektihardjo , tak jauh dari kota Tuban di Jawa Timur, terdapat sebuah mata air yang tetap mengalir sejak ratusan tahun silam. Namanya Mata Air Bekti — sebuah mata air keramat yang menyembur dari bawah beringin tua. Hutan lebat dan udara sejuk mengelilinginya.
Di balik ketenangannya, mata air ini menyimpan kisah tragis dari akhir sebuah kerajaan besar: Majapahit , kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang pernah berjaya di Nusantara.
Cerita tentang Bekti dan Tuban tidak hanya berasal dari sumber-sumber lokal. Ada juga versi yang ditulis dari sudut pandang luar, yaitu dari seorang penulis Belanda bernama J. E. Jasper . Ia bertugas sebagai asisten-residen Tuban pada masa penjajahan Belanda.
Pada tahun 1919 , Jasper menulis sebuah artikel berjudul “In het land der verborgen bronnen” (Di Negeri Mata Air Tersembunyi). Artikel ini dimuat dalam majalah Belanda Eigen Haard . Ia menulis tentang alam, sejarah, dan masyarakat Tuban dari perspektif kolonial.
Ia menyebut Mata Air Bekti sebagai tempat tinggal Aria Dandang Watjana , atau lebih dikenal sebagai Adipati Papringan . Ia adalah salah satu penguasa Hindu awal di wilayah ini pada abad ke-14. Namun, puluhan tahun kemudian, mata air ini menjadi saksi bisu peristiwa yang lebih besar: akhir dari kejayaan Majapahit .
Runtuhnya Majapahit dan Pelarian Sang Raja
Pada tahun 1478 , kerajaan Majapahit , yang pernah menjadi pusat kekuasaan Hindu-Buddha di Nusantara, runtuh. Penguasa terakhirnya, Raja Bra Widjaja , terpaksa meninggalkan ibu kota kerajaannya setelah diserang oleh pasukan Demak .
Pasukan Demak dipimpin oleh Raden Patah , mantan putra mahkota Majapahit yang telah memeluk Islam. Bra Widjaja memutuskan untuk melarikan diri, mencari tempat persembunyian yang aman. Ia sempat mencoba mencari perlindungan di Blambangan dan Bali , tetapi tekanan politik dan militer dari Demak membuatnya tidak aman di mana pun.
Akhirnya, ia sampai di Tuban , sebuah wilayah yang pada masa itu dikenal sebagai tempat yang cukup terpencil dan memiliki kekuatan spiritual yang kuat. Di sinilah ia menemukan ketenangan sementara, di bawah naungan hutan di sekitar Mata Air Bekti . Konon, ia memilih tempat ini karena dianggap sakral dan jauh dari kejaran musuh.
Perintah dari Demak: Sunan Kalijaga Dikirim untuk Membawa Bra Widjaja
Menurut catatan Jasper:
“Nadat hij toch naar Blambangan of Bali was gevlucht, droeg Raden Patah den Soenan Kalidjaga op, om hem te zoeken, en naar Demak te brengen…”
(Setelah ia melarikan diri ke Blambangan atau Bali, Raden Patah memerintahkan Sunan Kalijaga untuk mencarinya dan membawanya ke Demak…)
Ya, Raden Patah , yang ternyata adalah putra Bra Widjaja sendiri , tidak ingin ayahnya hidup dalam pelarian dan keterasingan. Ia memerintahkan Sunan Kalijaga , salah satu ulama penting dalam penyebaran Islam di Jawa, untuk mencari Bra Widjaja dan membujuknya agar kembali ke Demak.
Sunan Kalijaga pun menemukan Bra Widjaja di Tuban , dan mencoba membujuknya untuk kembali ke Demak, tempat ia akan diterima dengan baik sebagai mantan raja, bahkan mungkin sebagai penasehat spiritual.
Namun, Bra Widjaja menolak. Ia merasa malu dan tidak mampu menghadapi putranya yang kini menjadi pemimpin Islam. Ia juga tidak mampu menerima perubahan besar yang terjadi di Nusantara: kejayaan Hindu-Buddha telah berakhir, dan era baru telah dimulai.

Akhir Hidup Bra Widjaja di Tuban
Bra Widjaja memilih untuk tetap tinggal di Tuban , menjalani hidupnya dalam kesendirian seperti seorang pertapa. Ia tinggal di sebuah rumah kecil dari bambu dengan atap sirap , tidak jauh dari Mata Air Bekti .
Menurut cerita rakyat yang terus dijaga oleh masyarakat Tuban , Bra Widjaja akhirnya meninggal di wilayah ini dan dimakamkan di sebuah tempat bernama Gedongamba , dekat pemakaman yang disebut “Atas Angin” , tak jauh dari Tuban .
Sebuah rumah kecil dari bambu dengan atap sirap didirikan di atas makamnya, sebagai simbol penghormatan terakhir kepada raja terakhir Majapahit . Meski tak banyak catatan sejarah tertulis tentang akhir hidup Bra Widjaja , masyarakat Tuban percaya bahwa ia dimakamkan di sini — dan bahwa kekuatan spiritualnya masih menyatu dengan bumi Tuban .
Legenda yang Hidup Sampai Kini
Cerita tentang Bra Widjaja dan Mata Air Bekti bukan hanya cerita sejarah, tapi juga legenda yang hidup sampai hari ini. Penduduk setempat masih percaya bahwa siapa pun yang datang ke Bekti dengan niat baik, akan mendapat berkah. Bahkan, upacara kecil masih sering dilakukan di sekitar mata air sebagai bentuk penghormatan kepada roh para leluhur, termasuk sang raja terakhir Majapahit.
Air yang Masih Bercerita
Mata Air Bekti tak pernah berhenti mengalir. Sama seperti sejarahnya, yang terus mengalir dalam ingatan masyarakat Tuban dan bangsa Indonesia. Di bawah beringin tua dan di antara hutan yang lebat, Bekti menjadi saksi bisu dari pergolakan kekuasaan, pelarian seorang raja, dan akhir dari sebuah era keemasan.
Penulis : Syafik
Sumber : majalah Eigen Haard; geïllustreerd volkstijdschrift (Edisi 45, No. 2, 11 Januari 1919) diterjemahkan dengan chat.qwen.ai