Bojonegoro – Meski penggugat selaku warga negara atau Citizen Law Suit (CLS) cukup di lakukan oleh satu orang yakni yang di lakukan oleh Agus Susanto Rismanto, namun Anwar Sholeh selaku Ketua DPRD Kabupaten Bojonegoro Periode 1999 – 2004 ikut serta melakukan gugatan intervensi dalam perkara Partisipating Intres (PI) yang bekerja sama dengan PT Surya Energi Raya (SER) di Pengadilan Negeri Bojonegoro. pada Selasa, 15-9-2020.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro yang di Ketuai Salman Alfarasi dengan dua anggota Isdaryanto dan Ainun Arifin dalam perkara gugatan Citizen Law Suit (CLS) dengan penggugat Agus Susanto Rismanto sebelum di tutup persidangan mempersilahkan kepada Anwar Sholeh untuk ikut masuk bergabung dalam persidangan, dan membacakan tuntutannya selaku penggugat intervensi.
“ini nanti dalam sidang berikutnya akan kita lakukan penetapan, bisa untuk bergabung atau tidak” ujar Ketua Majelis Hakim Salman Alfarasi.
Pokok permasalahan yang di sampaikan dalam gugatan intervensi adalah, PT ADS sebagai badan hukum telah nyata – nyata melanggar ketentuan hukum yang berlaku yakni melajukan perjanjian tertulis yang di daftarkan di notaris Yatiman Hadi pada 5 Juni 2005 antara PT SER dan PT ADS.
Usai mengikuti persidangan, Anwar Soleh mengatakan jika semangatnya untuk melajukan gugatan intervensi adalah ia mengetahui betul sejarahnya dan di era kepemimpinannya di DPRD berdiri BUMD bernama PT Asri Darma Sejahtera.
” saya memiliki tanggung jawab karena mengetahui sejarahnya” tandasnya.
Lanjut Anwar Sholeh, ia menenggarai saat penetapan PT SER bekerja sama dengan PT ADS oleh DPRD Bojonegoro pada 5 Juli 2005 dulu ada uang bertebaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bojonegoro, dan per anggota DPRD mendapatkan uang “raswah” (pelicin) mulai dari 25 juta – 60 juta rupiah. dan perjanjian tersebut syarat akan pelanggaran.
“untuk anggota dewan yang menerima raswah tersebut pada saat itu, jangan kawatir. karena ini sesuai hukum sudah kadaluarsa” terangnya.
Terkait kadaluarsa sebuah kasus termasuk kasus korupsi, mengutip hukumonline.com, tentang kadaluarsa sebuah tindak pidana korupsi tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-undang nomor20 tahun 2001 tentang perubahan atas Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi nomor 31 tahun 1999. Maka berlaku ketentuan dalam Pasal 78 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Terkait penerapan Pasal 78 ayat 1 tersebut, pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Mudzakir, mengatakan ada dua teori yang digunakan untuk menghitung daluarsa sebuah kasus. Yang pertama adalah tindak pidana yang dapat diketahui publik (terbuka), seperti membunuh. Maka daluarsa kasus sejak terjadi peristiwa.
Untuk kasus pidana tersembunyi maka daluarsa sebuah kasus dihitung sejak kasus pidana tersebut terungkap.
Selanjutnya mudzakir menjelaskan dalam perhitungan daluarsa sebuah kasus pidana seharusnya dilakukan oleh semua pihak, seperti jaksa dan hakim. Dan yang punya kewenangan menentukan sebuah kasus pidana daluarsa adalah hakim.
Penulis : Rozikin
Editor : Syafik