Korban Kekerasan Bisa Menjadi Pelaku Kekerasan

oleh
Sejumlah aktivis perempuan di Bojonegoro menggelar diskusi soal penarikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Foto/dok. Anis Umi

Sejumlah aktivis perempuan di Bojonegoro menggelar diskusi soal penarikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Kegiatan yang difasilitasi Korps PMII Putri (Korpri) Bojonegoro ini memberikan sejumlah catatan kritis.

Para aktivis ini di antaranya dari Suara Perempuan Penggerak Komunitas (SPEAK). Kemudian juga dari Koalisi Peremuan Indonesia (KPI) juga turut berpartisipasi aktif di acara diskusi yang digelar pada Minggu 12-Juli-2020 lalu.

Menurut saya, para perempuan berharap dilakukan pengesahan RUU PKS. Meski demikian ada juga pihak yang masih kurang sepakat dengan RUU PKI ini. Mereka beralasan dengan menggunakan dalil agama yang ‘katanya’ kurang sesuai jika diterapkan dengan RUU ini.

Tetapi, seharusnya melihat urgensi jumlah kasus kekerasan dan jumlah korban yang terus bertambah dalam dua tahun terakhir, tentu sangat disayangkan jika RUU ini tidak segera diperbaiki.”Karena kesalahpahaman dalam menerjemahkan bisa menjadi sebab beberapa golongan beranggapan RUU PKS ini berbau aliran liberal.

Baca Juga :   Rombongan Forkompimda Takziah di Rumah Korban Jebakan Tikus

Mengacu data catatan hukum nasional perempuan tahun 2020, dimana sebanyak 70 persen yang pernah menjadi korban kekerasan berpotensi menjadi pelaku kekerasan dikemudian hari. Ini karena tidak ada layanan dari segi psikologi bagi korban tindak kekerasan. Karena tidak ada aturan yang mengharuskan Negara menghadirkan layanan bagi korban kekerasan seksual.

Sebagai contoh korban kekerasan yang berasal dari disabilitas intelektual, dimana menurutny tidak pernah menjadi focus penyelesaian masalahnya. Melihat kondisi ini, kemalangan yang menimpa kaum disabilitas yang menjadi korban akan semakin menjadi-jadi.

Artinya jika tidak ada UU yang menjadi landasan hukum melindungi korban, berarti negara belum mengambil peran untuk penyembuhan trauma bagi korban kekeasan seksual. Terutama selama proses berjalan dan upaya rehabilitasi bagi korban.

Baca Juga :   Subsidi Pupuk di Bojonegoro Bisa Naik, Ini Kiat DPRD

Disisi lain, kondisi sosial budaya masyarakat terutama Bojonegoro sangat membutuhkan payung hukum untuk mencapai keadaan sosial yang aman nyaman dan melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Karena untuk mengurasi kasus kekerasan seksual sangat diperlukan efek jera sehingga tidak bermunculan lagi pelaku baru dalam kasus kekerasan.

Untuk itu diperlukan upaya melindungi korban kekerasan agar dapat mengurangi trauma yang dialami. Tentu semua perlu diatur dalam aturan baku dan dapat menjadi payung hukum yang dapat terimplementasi secara vertikal. Artinya tegak lurus dari dari pusat dan dapat dibentuk aturan sebagai turunan di masing-masing daerah. Yaitu untuk melindungi korban dan mencegah maraknya kasus serupa.

Catatan. Penulis adalah dosen jurusan Matematika IKIP PGRI Bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *