damarinfo.com – Bayangkan sebuah dompet bantuan sosial yang seharusnya hanya mengisi kantong keluarga miskin, tapi ternyata juga mengalir ke rumah-rumah megah di kelompok kaya. Di Jawa Timur dan khususnya Bojonegoro, data dari BPS Jawa Timur tahun 2023 mengungkap fakta mencolok: 18,49% rumah tangga di Jawa Timur dan 23,01% di Bojonegoro menerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), tapi sebagian di antaranya justru dari kelompok pengeluaran tertinggi (kuintil 5), termasuk 11,46% di Bojonegoro.
Ini seperti menyiram air ke ladang yang sudah hijau subur, sementara sawah kering di sampingnya hanya dapat tetesan. Apa yang salah dengan distribusi KKS di Jawa Timur dan Bojonegoro? Mari kita bedah datanya dengan santai tapi tajam.
KKS: Bantuan untuk Siapa?
Kartu Keluarga Sejahtera dirancang untuk membantu rumah tangga pra-sejahtera dan sejahtera 1, yang biasanya berada di kuintil 1—kelompok dengan pengeluaran terendah. Di Jawa Timur, 27,31% rumah tangga di kuintil 1 menerima KKS, menunjukkan bantuan cukup menjangkau target.
Namun, kejutan muncul di kuintil 2 hingga 5, di mana bantuan masih menyebar, bahkan ke kelompok paling kaya. Di Bojonegoro, 37,66% rumah tangga di kuintil 1 menerima KKS—angka yang lebih tinggi dari rata-rata provinsi—tapi 11,46% di kuintil 5 juga kebagian. Ini seperti memberikan kupon makan gratis ke orang yang sudah punya langganan restoran mewah!
Bojonegoro: Kontradiksi di Lumbung Migas Jawa Timur
Bojonegoro, dikenal sebagai lumbung migas Jawa Timur, punya cerita ekonomi yang penuh kontradiksi. Data BPS menunjukkan bahwa 23,01% rumah tangga di Bojonegoro menerima KKS, lebih tinggi dari rata-rata provinsi (18,49%).
Ini menandakan bahwa meskipun ada potensi ekonomi dari sektor migas, banyak keluarga masih bergantung pada bantuan sosial. Berikut rincian distribusi KKS di Bojonegoro berdasarkan kuintil:
- Kuintil 1: 37,66% penerima KKS, mencerminkan tingkat kemiskinan yang signifikan di kelompok pengeluaran terendah.
- Kuintil 2: 28,72% penerima KKS, menunjukkan kerentanan ekonomi di kelompok menengah bawah.
- Kuintil 3: 23,92% penerima KKS, mulai menurun tapi masih signifikan.
- Kuintil 4: 18,11% penerima KKS, menandakan distribusi bantuan yang melebar ke kelompok menengah atas.
- Kuintil 5: 11,46% penerima KKS, angka yang mencolok untuk kelompok pengeluaran tertinggi.
Angka-angka ini seperti cermin yang memantulkan dua wajah Bojonegoro: satu sisi adalah daerah dengan potensi ekonomi besar, sisi lain adalah kantong-kantong kemiskinan yang masih membutuhkan bantuan. Tapi, kenapa rumah tangga di kuintil 5 masih kebagian KKS?

Kenapa Bantuan Nyasar ke Kuintil Atas di Bojonegoro?
Ada beberapa alasan mengapa KKS di Bojonegoro dan Jawa Timur masih diterima oleh rumah tangga di kuintil 2 hingga 5:
- Data Ketinggalan Zaman: Basis Data Terpadu (BDT) untuk penerima KKS mungkin belum diperbarui. Rumah tangga yang dulu miskin tapi kini naik ke kuintil 4 atau 5 masih terdaftar. Di Bojonegoro, dinamika ekonomi migas bisa mempercepat perubahan status kesejahteraan, tapi pembaruan data sering tertinggal.
- Kriteria Non-Pengeluaran: KKS mempertimbangkan faktor seperti jumlah tanggungan, akses ke air bersih, atau pendidikan. Di wilayah rural Bojonegoro, banyak rumah tangga di kuintil atas mungkin masih kekurangan infrastruktur, membuat mereka dianggap “rentan”.
- Dinamika Lokal: Keputusan di tingkat desa kadang dipengaruhi oleh faktor sosial atau politik. Misalnya, kepala desa mungkin memasukkan rumah tangga yang sudah sejahtera demi menjaga hubungan baik, menjelaskan kenapa 11,46% di kuintil 5 masih dapat KKS.
- Kerentanan Ekonomi: Meski di kuintil atas, beberapa rumah tangga di Bojonegoro mungkin masih menghadapi ketidakstabilan pendapatan, terutama dari sektor pertanian atau informal yang umum di daerah ini.
Data ini seperti lampu sorot yang menunjukkan celah dalam sistem distribusi bantuan di Jawa Timur dan Bojonegoro. Kalau bantuan terus nyasar, energi untuk membantu yang benar-benar membutuhkan bisa terbuang sia-sia.
Jawa Timur: Bojonegoro dalam Konteks Lebih Luas
Bojonegoro bukan satu-satunya yang menunjukkan anomali di Jawa Timur. Di Trenggalek, 34,16% rumah tangga menerima KKS, dengan 16,28% di kuintil 5—lebih tinggi dari Bojonegoro. Probolinggo bahkan lebih ekstrem, dengan 32,87% penerima KKS secara keseluruhan dan 20,35% di kuintil 5.
Sebaliknya, kota-kota besar seperti Surabaya (7,18%) dan Batu (7,13%) punya persentase penerima KKS yang jauh lebih rendah, terutama di kuintil atas (2,59% dan 3,44%). Ini menunjukkan jurang antara wilayah rural seperti Bojonegoro dan urban di Jawa Timur: daerah pedesaan masih bergulat dengan kemiskinan struktural, sementara kota besar punya verifikasi yang lebih ketat.
Solusi: Membuat KKS di Jawa Timur dan Bojonegoro Lebih Tepat
Untuk memastikan KKS di Jawa Timur dan Bojonegoro benar-benar sampai ke tangan yang tepat, beberapa langkah bisa diambil:
- Perbarui Data Secara Rutin: Pemerintah daerah Bojonegoro dan Jawa Timur perlu mempercepat pembaruan Basis Data Terpadu untuk menangkap perubahan status kesejahteraan.
- Verifikasi Ketat: Periksa ulang rumah tangga di kuintil 3–5 yang masih menerima KKS, terutama 11,46% di kuintil 5 Bojonegoro.
- Pemberdayaan Ekonomi: Program pelatihan kerja atau akses modal usaha bisa membantu rumah tangga di kuintil 1 naik kelas, mengurangi ketergantungan pada KKS.
- Pengawasan Lokal: Tingkatkan transparansi dalam distribusi KKS untuk mengurangi pengaruh faktor sosial atau politik di tingkat desa.
Langkah-langkah ini seperti menajamkan pisau: membuat bantuan sosial lebih tajam dan tepat mengenai sasaran.
Refleksi: Waktunya Menyaring Bantuan dengan Jeli
Data dari Jawa Timur dan Bojonegoro adalah pengingat bahwa niat baik saja tidak cukup. Kartu Keluarga Sejahtera ibarat air yang seharusnya mengalir ke akar-akar yang kering, bukan ke daun yang sudah rimbun.
Ketika 11,46% rumah tangga kaya di Bojonegoro masih menerima KKS, kita perlu bertanya: apakah sistem kita sudah cukup jeli? Mari bersama-sama mendorong pemerintah untuk memperbaiki penargetan, sehingga bantuan benar-benar mengubah hidup mereka yang paling membutuhkan.
Apa langkah kecil yang bisa kita lakukan untuk memastikan keadilan ini tercapai di lingkungan sekitar kita?
Penulis : Syafik