Bojonegoro, damarinfo.com – Jarum jam menunjuk angka sembilan pada pagi hari, waktu Abdul Muiz (38) mulai beranjak menuju tempat lokasi ia membuka jasa jahitnya di Jalan dr. Wahidin Kota Bojonegoro.
Di jalan nama seorang tokoh pahlawan nasional itulah Abdul Muiz mengais nafkah sepanjang hari untuk kehidupan keluarga.
Siang itu, di depan sebuah warung jus buah terdapat sebuah ruko berpagar besi yang terhimpit rumah dan sebuah cafe berukuran 2×5 meter. Orang sibuk keluar masuk membeli jus beraneka macam buah untuk menyegarkan tenggorokan, Abdul Muiz tampak sibuk menyelesaikan tugas pokoknya sebagai penjahit. Di dinding tempat ia menjahit tampak terpasang pigura foto yang bertuliskan muasis dan dzuriyah Pondok Pesantren Tanggir Raudhlatut Thalibin Tanggir, Singgahan, Tuban.
Tumpukan kain dan celana serta baju tampak bertumpuk di atas meja dan kursi menunggu giliran untuk di selesaikan pengerjaanya baik pembuatan segala jenis baju, celana serta melayani segala bentuk permak. Tangan terampil Abdul Muiz pun terlihat sangat terampil ketika memasukan benang-benang ke mesin jahit dan kaki kanannya sesekali menginjakkan sebuah alat untuk mengoprasikan mesin jahit yang sudah tersalur listrik tersebut.
“Saya tidak gengsi meski lulusan pesantren harus menjadi seorang penjahit, namun saya tetap mengajar ngaji di rumah,” tutur pria asli Desa Semenpinggir, Kapas ini pada Jum’at, 29-Desember-2023
Abdul Muiz menceritakan, setahun setelah lulus Madrasah Aliyah (setingkat SMA) di Kecamatan Balen Bojonegoro yakni tahun 2006 ia belajar menjahit di Desa Bakalan Kapas yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya dan di tahun 2007 Ia memutuskan untuk nyantri di Pondok Pesantren Raudhlatut Thalibin Tanggir Singgahan Tuban selama kurang lebih 7 tahun (2007-2014), saat itu ia berhasil menghafal nadzom Imriti dan sebagian dari nadzom alfiah.
“Selama di pesantren, saya nghodam ke Kiyai saat itu Mbah Yai Munawir Allahuyarham. Dan sempat di minta menjahit juga menggunakan jahit dipondok,” ungkap pria yang aktif sebagai panggilan penghatam alqur’an binadhor ini.
Usai 7 tahun di pesantren tepatnya tahun 2014, Abdul Muiz memutuskan untuk boyong dan membantu orang tua di rumah, membantu mengajar mengaji dipondok dekat rumahnya serta dipercaya untuk mengelola TPQ dan ia di tunjuk sebagai ketuanya. Di tahun 2015 ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjahit ikut seseorang selama 4 tahun, karena orang yang di tempati bekerja tutup lantaran sakit maka, di tahun 2019 Ia memutuskan untuk membuka secara mandiri di kontrakan tempat bosnya tersebut.
“Setelah bos saya sakit dan memutuskan untuk tutup, maka saya membuka secara mandiri di tempat yang dikontrak bos saya ini,” tutur pria yang sudah memiliki istri dan dua anak ini.
Abdul Muiz menceritakan awal mula ia memutuskan untuk bekerja sebagai penjahit tak lepas dari pengalaman ia di pesantren yaitu saat kelas tiga tsanawiyah (pesantren salaf), Ia dipanggil sang kiyai untuk mengantar seorang tamu ke sebuah desa di Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, dan ternyata sesampainya di sana orang yang di tuju adalah seorang kiyai dan kesehariannya selain mengajar ngaji adalah menjadi seorang menjahit.
“Ahirnya saya di sana berfikir, ternyata penjahit juga seorang kiyai. Misal saya sepulang dari pesantren maka saya akan menjahit. Sehingga tidak harus gengsi meski berpendidikan pesantren apalagi penjahit kesannya adalah perempuan,” tandas pria yang juga lihai dalam membaca kitab kuning ini.
Abdul Muiz terkagum-kagum hingga saat ini, ternyata perintah sang kiyai untuk mengantarkan tamu tersebut seakan menunjukkan jika seorang lulusan pesantren setelah pulang di rumah tidak harus gengsi bekerja sebagai penjahit.
“Pesan kiyai saya, kalau sebagai penjahit ya menjahit, dan jangan sampai meninggalkan untuk mengajar ngaji,” pungkas pria yang juga sebagai Ketua RT di kampungnya ini.
Penulis : Rozi