Kenapa Disebut Bojonegoro? Ini Sejarah Panjang Nama Kota di Tepi Bengawan Solo

oleh 103 Dilihat
oleh
(Gedung kabupaten Bodjonegoro Tahun 1933. Gambar diambil dari sudut yang lain. Sumber : Majalah LOCAL TECHNIEK TECHNISCH ORGAAN VAN DE VEREENIGING VOOR LOCALE BELANGEN. Edisi Tahun ke 2 No 3, Juli 1933)

Kota di Tepi Bengawan

Soerabaijasch Handelsblad pada 1937 menggambarkan Bojonegoro sebagai kota rendah di tepi Bengawan Solo. Tanggul di sepanjang aliran sungai melindungi kota dari banjir musiman. Selain itu, datarannya yang bekas rawa menciptakan dua ekstrem: banjir saat hujan dan kemarau panjang saat musim kering.

Di sisi sosial, penduduk Bojonegoro menunjukkan keceriaan yang khas. Redaktur menulis:

“Het drinkwater in Bodjonegoro is sterk kalkhoudend… hierdoor moet verklaard worden waarom de inwoners zoo’n opgewekt gezelschap vormen.”
(Air minum di Bojonegoro kaya kapur… hal ini mungkin menjelaskan mengapa warganya tampak riang.)

Karena itu, banyak orang mengaitkan ketahanan masyarakat dengan iklim ekstrem dan air tanah yang menguatkan tubuh.

Dari Djipang ke Radjegwesi

Selanjutnya, laporan tersebut menautkan nama Bojonegoro dengan pembagian wilayah Kesultanan Demak pada abad ke-16. Menjelang wafat, Raja Trenggono membagi kerajaannya kepada dua putra. Salah satu bagian lahir sebagai wilayah Djipang, yang mencakup Blora hingga Bojonegoro. Baureno menjadi pusat kekuasaan karena perbukitannya memberi keamanan dan menyediakan akses ke Tuban dan Babat.

Baca Juga :   Pelantikan Bupati Bojonegoro 1937: Simbol Perubahan di Tengah Bayang-Bayang Korupsi Masa Lalu

Lebih jauh, redaktur menulis:

“Volgens taalkundigen zou Bodjo aan den naam de beteekenis geven van de helft van het land.”
(Menurut ahli bahasa, kata Bodjo memberi arti “setengah dari tanah.”)

Dengan demikian, banyak pihak menafsirkan Bojonegoro sebagai “setengah wilayah” hasil pembagian kerajaan.

Dari Baureno ke Bojonegoro

Seiring berjalannya waktu, kekuasaan Demak jatuh ke tangan Mataram, lalu masuk dalam kendali Kompeni Belanda. Pada masa kolonial awal abad ke-19, pusat pemerintahan dipindahkan dari Baureno ke Radjegwesi. Tahun 1827, nama itu diganti menjadi Bojonegoro, bersamaan dengan pemindahan kedudukan administratif dari Baureno ke lokasi yang sekarang menjadi ibu kota kabupaten.

Redaktur menulis:

“De plaats Bodjonegoro heette toen Radjegwesi. In 1827 kreeg zij haar huidigen naam.”
(Daerah Bojonegoro dulunya bernama Radjegwesi. Pada 1827, wilayah ini mendapatkan nama barunya.)

Warisan Nama dan Karakter

Nama Bojonegoro tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari sejarah panjang perpindahan pusat pemerintahan dan tafsir bahasa yang hidup di masyarakat. Dari “setengah tanah” hingga “tanah yang diperoleh,” semua tafsir itu melekat dengan identitas Bojonegoro.

Baca Juga :   Pasar Bojonegoro Sejak 1827: Riuh Perdagangan di Tengah Revolusi 1949

Kehidupan masyarakat yang terbiasa menghadapi banjir dan kemarau panjang melahirkan karakter tangguh. Redaktur Handelsblad menyebut:

“Hoewel niet vrij van vermenging, heeft de bevolking van Bodjonegoro een eigen karaktertype.”
(Meskipun tidak lepas dari percampuran, penduduk Bojonegoro memiliki karakter khas.)

Kota yang dahulu digambarkan sebagai kota di tepi Bengawan Solo kini berkembang menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di Jawa Timur bagian barat. Namun, jejak nama Bojonegoro tetap menyimpan cerita: tentang air kapur, riwayat Demak, Radjegwesi, dan akhirnya sebuah identitas baru yang bertahan hingga kini.

Penulis : Syafik

Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, 15 Juli 1937, artikel berjudul “Studies in Bodjonegoro: Omzwervingen in een ingepolderde stad.”