Jejak Mbedander di Era Kerajaan Mataram Kuno

oleh -
oleh
(Sarasehan Mbedander The Corner of Majapahit, Ruang Angling Dharma, Gedung Pemkab Bojonegoro, Sabtu 26-9-2020. Foto : Humas Pemkab Bojonegoro)

Bojonegoro- Saat ini Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melaksanakan penelusuan sejarah tentang asal usul Bojonegoro. Sasaran utama penelusuran adalah tempat yang bernama “Mbedander”. Dimulai dengan sarasehan yang mendatangkan Arkeolog dari Universitas Indonesia di Departemen Arkeologi UI, Agus Aris Munandar dan Alumni Arkeologi UGM sekaligus Dosen Universitas Negeri Malang yang mendalami Epigraf, Ismail Lutfi.

Bupati Bojonegoro Ana Muawanah yang membuka sarasehan yang digelar Sabtu 26-9-2020 di Ruang Angling Dharma Gedung Pemkab Bojonegoro ini, berharap penelusuan sejarah ini dapat menemukan sejarah sebenarnya tentang Mbedander ini.

“Apabila “Badander” merujuk pada wilayah Dander, hal ini sangat menggembirakan dan bersejarah. Mengingat kejadian waktu itu memiliki nilai sejarah penting dalam kebangkitan Majapahit. Hasil kajian ini nantinya dapat merangsang gairah pariwisata di Bojonegoro khusunya,” terang Bupati.

Nama Desa atau Dusun Badander atau Mbedander atau Dander terdapat di tiga kabupaten yakni, Kabupaten Blitar, Kabupaten Jombang dan Kabupaten Bojonegoro. masing-masing kabupaten mengakui bahwa mbedander dalam kitab pararthon adalah di wilayahnya tentu disertai dengan argumen-argumen yang menguatkan atas pengakuan tersebut.

Menurut peneliti, “Badander” dalam Kitab Pararaton dan Negarakertagama sedikitnya merujuk di dua lokasi. Yakni di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Bojonegoro.

“ Badander di Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang yang ditelaah dan hingga saat ini belum diperoleh kesimpulan valid” Kata Agus Aris Munandar.

Lanjut Agus Aris Munandar sumber tertulis utama yang digunakan adalah uraian Kitab Pararaton dan Kakawin Negarakertagama dan prasasti Adan-adan serta prasasti Tuhanyaru. Dua prasasti tersebut menjadi sumber penting dalam penelitian, penemuan prasasti Adan-adan di Kecamatan Kalitidu adalah bukti adanya aktifitas kerajaan Majapahit pada masa itu

Arkeolog yang juga tertarik dengan Mbedander adalah Titi Surti Nastati dari Pusat Arkeologi Nasional Jakarta. Titi Surti Nastiti menemukan dari hasill penelitianya bahwa Mbedander sudah ada pada masa 300 tahun sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Yakni masa kerajaan Mataram Kuno saat dipimpin oleh Raja Dharmmawangśa Airlangga Anantawikramotunggadewa (1019-1042 M. Mbedander muncul dalam Prasasti Kusambyan dengan nama Madander.

Baca Juga :   Di Musdakab KNPI, Bupati Bojonegoro: Pemuda Aset Masa Depan

Prasasti Kusambyan atau Prasasti grogol ditemukan di tengah sawah milik Wadiso di dusun Grogol Desa Katemas Kecamatan Kudu Kabupaten Jombang. Kondisi prasasti ini tidak terawat bagian atasnya sudah pecah menjadi sembilan bagian.  Tulisan dalam prasasti ini dalam aksara kawi dan bahasa jawa kuno. Pada bagian yang utuh, terdapat tulisan di empat sisinya.

Yang menarik Titi Surti Nastiti adalah disebutkanya keratorn Madander (makadatwan i madaṇḍěr) kata madander ini mengingatkan pada teks Pararaton yang menyebut Desa Baḍaṇḍĕr sebagai tempat pengungsian Jayanagara dalam satu peristiwa yang dikenal dengan nama “peristiwa Baḍaṇḍĕr”. Dimanakah letak madander ini? pertanyaan ini lah yang mendorong Titi Surti Nastiti untuk meneliti Prasasti Kusambyan ini.

Dari hasil penulisan ulang, tulisan yang ada dalam prasasti tersebut dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, secara ringkas prasasti kusambyan menyebutkan Śrī Mahārāja (Rake Halu Śrī Lokeśwara Dharmawangśa Airlangga Anantawikramottunggadewa) menganugerahkan daerah perdikan di Desa Kusambyan kepada penduduk aslinya (wargga mūla) karena mereka harus melakukan pemujaan untuk rahyang iwak.

(Prasasti Kusambyan di Dukuh Grogol, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang.)

Menurut Titi Surti Nastiti penyebutan Madander tidak ditemukan dalam prasasti-prasasti lain masa kerajakaan Airlangga. “molah madwal makadatwan i madaṇḍĕr”  Titi Surti Nastiti mencotohkan prasasti Turyyān (829 M.), ditulis “śrī mahārāja makaatwan i tamwlaŋ” (Śrī Mahārāja berkeraton di Tamwlang). Atau pada prasasti Paraḍaḥ (943 M.) yang menuliskan “maŋraka kaatwan rahyaŋta i maŋ i bhūmi matarām i watugalu” (para dewa yang menjaga keraton di Mḍang di kerajaan Matarām yang terletak di Watugaluh) (Brandes, 1913: 100).

Baca Juga :   Bea Cukai Bojonegoro Temukan Rokok Ilegal di Pasaran

Dalam prasasti yang lebih lama yang dibuat pada zaman Śrī Mahārāja Rakai Sumba/ Rakai Pangkaja Dyah Wawa (924 M. – 928 M.), maaṇḍĕr adalah nama tempat kedudukan samgat momahumah, seperti yang disebutkan dalam prasasti Sangguran (928 M.) dan Paṇgumulan III (928 M.). Samgat momahumah adalah pejabat yang mengurusi perumahan, yang berkedudukan di Maḍaṇḍĕṛ yakni Pu Padma dan yang berkedudukan di Aṅgĕhan bernama Pu Kundala.

Jadi jelas, Maḍaṇḍěr adalah daerah penting sehingga keputusan Airlangga mendirikan keraton di wilayah itu sangat dimengerti, karena tidak usah membuka lahan lagi untuk dijadikan keraton. Wilayah itu sudah menjadi tempat dari pejabat tinggi kerajaan yang mengurusi perumahan, jauh sebelum Airlangga bertakhta.

Kata Madaṇḍĕr mengingatkan pada daerah Baḍaṇḍĕr yang disebutkan dalam teks Pararaton. Meskipun ada perubahan bunyi dari maḍaṇḍĕr ke baḍaṇḍĕr, tetapi secara toponimi perubahan ini bisa diterima. Baḍaṇḍĕṛ adalah nama desa yang menjadi tempat pengungsian raja Jayanagara.

Di Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang terdapat dua dusun berkaitan dengan nama Baḍaṇḍĕr, yakni dusun Bedander yang masuk wilayah Desa Sumbergondang dan Dander yang masuk ke wilayah Desa Manduro. Dari hasil penelitian  yang dilakukan oleh Titi Surti Nastiti  diidentifikasikan Dusun Bedander di Desa Sumbergondang adalah Mbedander yang disebutkan dalam kitab pararaton. Hal ini didasarkan pada toponomi dan adanya peninggalan arkeologi di wilayah tersebut serta jarak antara prasasti Kusambyan dengan Dusun Bedander Desa Sumbergandong.

Penulis :Syafik

Editor : Sujatmiko

Sumber : Titi Surti Nastiti, Prasasti Kusambyan: Identifikasi Lokasi Maaṇḍĕr dan Kusambyan. (AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 31 No. 1, Juni 2013 : 1-80)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *