Jejak Keramik Bojonegoro Jaman Kolonial Tahun 1905: Kisah Seni yang Nyaris Terlupakan

oleh 79 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by grok.com)

damarinfo.com – Bayangkan Surabaya di tahun 1905, saat malam tiba dan lapangan militer di depan Masjid Kemajoran berubah jadi lautan cahaya lentera. Hari Mulud sedang meriah, dan pasar malam pertama di kota ini, atau yang orang Belanda sebut jaarmarkt,

bikin suasana ramai luar biasa. Orang-orang dari segala penjuru—pribumi, Belanda, sampai pedagang Tionghoa—berdesakan, penasaran dengan kerajinan lokal yang dipamerkan. Dan di antara tumpukan karya itu, ada permata tersembunyi dari Bojonegoro: keramik cantik dari tanah liat putih yang bikin orang-orang melirik.

Pameran yang Mengguncang Surabaya

Pameran ini bukan cuma soal jual-beli. Asisten Residen Surabaya, dibantu Residen dan Bupati, punya misi besar: memamerkan kerajinan tangan pribumi yang selama ini kurang dikenal, bahkan oleh orang Hindia Belanda sendiri.

Tujuannya? Bikin pasar yang lebih luas buat para pengrajin, dorong mereka kerja lebih rapi, dan kenalkan hasil karya mereka ke toko besar seperti Tontonnan di Surabaya. Intinya, ini soal ngasih panggung buat seni lokal yang tersembunyi.

Keramik Bojonegoro yang Mencuri Perhatian

Di salah satu sudut lapangan, stan Bojonegoro jadi sorotan. Kendi, vas, dan leksteen (batu lekat) dari tanah liat putih, atau yang orang Belanda panggil pijpaarde, berdiri anggun di sana. Bahan ini bukan sembarang tanah liat—kualitasnya top, cuma ada di Bojonegoro. Apalagi, para pengrajinnya sudah dilatih khusus. Mereka dikirim ke Borobudur oleh Kontrolir Padangan untuk belajar motif-motif Hindu yang penuh makna. Hasilnya? Keramik yang nggak cuma fungsional, tapi juga punya estetika tinggi, meski dibuat dengan cara yang masih sederhana banget.

Baca Juga :   Peta Ladang Minyak Masa Kolonial: Dari Panolan ke Drenges

Tapi nggak cuma Bojonegoro yang unjuk gigi. Ada celengan lucu berbentuk babi kecil, burung, dan buah-buahan dari Karanganjar, yang dilapisi emas tipis dan vernis—upaya lokal buat nyanyi-nyanyi teknik glasir. Lalu ada pula cobek, anglo, dan miniatur alat dapur super halus dari Trenggalek, plus batu ubin dan pipisan dari Magetan. Semuanya bikin pameran ini kayak galeri seni rakyat yang hidup.

Keren, Tapi Masih Banyak PR

Jujur, keramik Bojonegoro ini punya potensi gede, tapi ada catatan. Proses pembuatannya masih ala kadarnya. Tanah liat nggak diaduk sampai rata, pembakarannya pun sederhana, jadi hasilnya gampang retak kalau kena cuaca.

Kalau saja pengrajinnya tahu cara bikin glasir atau bakar keramik dengan lebih baik, barang-barang ini bisa jauh lebih awet dan bersaing di pasar yang lebih besar. Sayangnya, di tahun 1905, belum ada yang menguasai teknik itu di Bojonegoro.

Baca Juga :   Dari Djipang ke Radjakwesi: Jejak Perpindahan Ibu Kota dan Intrik di Baliknya

Antusiasme yang Bikin Semangat

Meski begitu, pameran ini sukses besar. Orang-orang nggak cuma datang lihat-lihat, tapi juga beli! Kendi dan vas Bojonegoro laku keras di pasar Surabaya, apalagi dengan warna tanah liatnya yang khas. Toko Tontonnan jadi penutup cerita yang manis, karena banyak kerajinan lokal, termasuk dari Bojonegoro, akhirnya sampai ke tangan pembeli lewat toko ini. Para pengrajin pulang dengan semangat baru, tahu karya mereka disukai banyak orang.

Warisan yang Perlahan Memudar

Pameran 1905 ini seharusnya jadi titik awal cerita besar buat keramik Bojonegoro. Sayang, tanpa pembinaan yang terus-menerus atau catatan yang rapi, seni ini perlahan tenggelam dalam sejarah. Padahal, kalau kita lihat catatan dari Verslag van de Eerste Tentoonstelling-Jaarmarkt te Soerabaja (1906), jelas banget kalau Bojonegoro punya sesuatu yang spesial. Keramik mereka nggak cuma barang biasa—itu cerminan budaya, kreativitas, dan potensi yang cuma butuh sedikit polesan untuk bersinar lagi.

Sekarang, cerita ini kayak pengingat: warisan seni Bojonegoro masih menunggu untuk dihidupkan kembali. Siapa tahu, dengan menggali lebih dalam, kita bisa bawa kembali kejayaan keramik yang pernah memikat hati di Surabaya malam itu.

Penulis ; Syafik

Sumber