Kaya Minyak, Tapi Tertinggal: Potret IPM Bojonegoro dan Daerah Penghasil Migas

oleh 131 Dilihat
oleh
Areal Central Processing Facility (CPF) Blok Cepu, tepatnya di Lapangan Banyu Urip, Kecamatan Gayam, Bojonegoro.Foto/Dok.EMCL

Indonesia: Kaya Energi, Beragam Pembangunan

Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya sumber daya alam. Dari Aceh hingga Papua, sumur-sumur minyak dan gas bumi (migas) telah mengalirkan energi sekaligus devisa. Namun, di balik kilau emas hitam itu, muncul pertanyaan: apakah daerah penghasil migas benar-benar menikmati kesejahteraan lebih baik dibanding daerah lain?

Jawabannya tersimpan dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM, yang dihitung oleh UNDP dan BPS, menjadi tolok ukur kualitas hidup masyarakat, mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak. BPS mengklasifikasikan nilai IPM ke empat tingkatan:

  • Sangat Tinggi: > 80

  • Tinggi: 70–80

  • Sedang: 60–70

  • Rendah: < 60

Secara nasional, IPM Indonesia berada di kisaran 75,02 (2024), kategori Tinggi. Namun distribusinya tak merata: kota-kota besar non-penghasil migas seperti Bandung, Semarang, atau Surabaya sudah melesat ke kategori Sangat Tinggi, sementara banyak kabupaten penghasil migas justru tertinggal di kisaran menengah.

Jurang Nasional: Non Penghasil Lebih Maju

Pengolahan data BPS menunjukkan pola yang konsisten. Rata-rata IPM daerah penghasil migas hanya berada di angka 75,43, sementara non penghasil mencapai 83,10. Median pun menunjukkan gap serupa: 74,99 versus 83,75.

Hasil uji statistik memperkuat temuan ini. Dengan Welch’s t-test, perbedaan keduanya signifikan (p-value jauh di bawah 0,05). Artinya, jurang IPM bukan kebetulan, melainkan fenomena nyata.

Inilah paradoks migas di Indonesia: daerah yang kaya minyak dan gas justru sering tertinggal dalam pembangunan manusia.

Jawa Timur: Antara Surabaya dan Kabupaten Migas

Di Jawa Timur, kontras itu terlihat jelas. Surabaya sebagai kota non penghasil migas, mencatat IPM 84,69, masuk kategori Sangat Tinggi. Kota ini unggul dalam pendidikan, layanan kesehatan, dan standar hidup perkotaan.

Baca Juga :   Jejak Blok Tobo: Kisah Sejarah yang Hilang di Balik Kejayaan Blok Cepu

Sebaliknya, deretan kabupaten penghasil migas justru berada di kelas menengah:

  • Sidoarjo: 82,67 (Sangat Tinggi, tapi ini pengecualian karena posisinya sebagai penyangga Surabaya).

  • Gresik: 78,93 (Tinggi).

  • Tuban: 72,31 (Tinggi bawah).

  • Bangkalan: 67,33 (Sedang).

  • Bojonegoro: 72,75 (Tinggi bawah).

Di sinilah kisah Bojonegoro menjadi menarik: sebuah kabupaten dengan sumur migas raksasa, tapi IPM-nya tak lebih gemilang dari tetangga yang tidak punya minyak sekalipun.

(Grarfik by chatgpt)

Bojonegoro dan Para Tetangga

Bojonegoro, sering dijuluki “lumbung migas Jawa” karena blok Cepu yang menghasilkan minyak hingga ratusan ribu barel per hari. Namun, IPM Bojonegoro hanya 72,75, berada di batas bawah kategori Tinggi, nyaris mendekati Sedang.

Lebih ironis lagi, jika dilihat dari peringkat: IPM Bojonegoro berada di urutan ke-37 di antara seluruh daerah penghasil migas di Indonesia. Bahkan, di lingkup Jawa Timur, posisinya hanya di urutan ke-25 dari 38 kabupaten/kota. Dengan kata lain, Bojonegoro jauh tertinggal meski menyandang status daerah strategis penghasil energi nasional.

Bandingkan dengan para tetangga:

  • Lamongan: 76,94 (Tinggi).

  • Nganjuk: 75,55 (Tinggi).

  • Ngawi: 72,93 (Tinggi, setara Bojonegoro).

Hasil ini memunculkan ironi. Lamongan dan Nganjuk, yang bukan penghasil migas, justru lebih unggul dalam pembangunan manusia. Bojonegoro, meski memiliki cadangan energi strategis nasional, tertinggal dari kabupaten yang mengandalkan pertanian dan perdagangan.

Mengapa Bisa Begitu?

Fenomena ini sering disebut kutukan sumber daya (resource curse). Kaya migas tidak otomatis berarti kaya manusia. Ada beberapa penyebab:

  1. Ketergantungan berlebihan. Ekonomi daerah terlalu fokus pada migas, sementara sektor lain (pendidikan, UMKM, layanan publik) kurang diperkuat.

  2. Hasil tak merata. Pendapatan besar dari migas lebih banyak mengalir ke pusat atau perusahaan, sedikit yang langsung menyentuh masyarakat.

  3. Pelayanan publik terbatas. Akses pendidikan dan kesehatan di kabupaten penghasil sering tertinggal dibanding kota non migas yang lebih terdiversifikasi.

Baca Juga :   Surat Redaksi Terima Kasih Ibu Pembangunan Bojonegoro. Relevan atau Memalukan?

Pelajaran dari Bojonegoro

Kisah Bojonegoro menunjukkan bahwa migas bukan jaminan kesejahteraan. Meski sumur minyaknya dalam, kualitas hidup warganya belum melampaui tetangga yang tidak punya ladang migas.

Lamongan dan Nganjuk bisa menjadi cermin. Tanpa migas, mereka tetap mampu meningkatkan IPM lewat penguatan sektor sosial dan ekonomi rakyat. Bojonegoro punya peluang lebih besar—asal dana besar dari migas tidak berhenti di angka-angka APBD, melainkan benar-benar mengalir ke sekolah, rumah sakit, dan dapur warga.

Migas Harus Jadi Berkah

Data ini memberi pelajaran sederhana: sumur minyak bisa mengering, tapi investasi pada manusia akan bertahan lama.

Bojonegoro dan kabupaten penghasil migas lain harus keluar dari paradoks “kaya sumber daya, miskin pembangunan”. Migas harus menjadi bahan bakar, bukan sekadar cerita, untuk mendorong manusia yang lebih sehat, berpendidikan, dan sejahtera.

Jika tidak, Bojonegoro akan terus dikenang bukan sebagai “lumbung migas”, melainkan sebagai potret kutukan sumber daya di tanah Jawa.

Penulis : Syafik

Sumber data : Daerah Penghasil Migas : Kepmen ESDM No 214 K/82/MEM/2020, Data IPM  diunduh dari laman BPS Provinsi dengan Kabupaten/kota Penghasil Migas.