Yogyakarta 5 Februari 1947. Lafran Pane, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI, sekarang Universitas Islam Indonesia-UII), meminta izin kepada Husein Yahya, dosen pengajar kuliah tafsir, untuk menggunakan jam pelajarannya sebagai rapat mahasiswa. Yogyakarta masih menjadi Ibu Kota Republik Indonesia, ketika itu.

Rapat yang dimulai pada pukul 16.00 Wib di Gedung STI, Jl. Pangeran Senopati 30 itulah yang kemudian diputuskan sebagai peristiwa lahirnya HMI dan Lafran Pane sebagai pendirinya. Selain Lafran, seturut catatan Agussalim Sitompul dalam Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (1947-1975) (2002), pendiri HMI adalah 14 mahasiswa lain yang mengikuti rapat tersebut.
Rapat itu memang sebagai tonggak awal bagi sejarah HMI, namun gagasan dan semangat yang melatarinya telah lama bersemayam dalam pikiran Lafran Pane. Sujoko Prasodjo, dalam salah satu tulisannya di Majalah Media (Februari 1957), bahkan menyebut tahun-tahun permulaan riwayat HMI hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane. Sujoko memandang Lafran memiliki andil terbanyak pada mula kelahiran HMI.
Warna Simbol hijau hitam yang mendominasi bendera HMI hakekatnya tidak lain adalah sifat gerakan HMI pada keumatan dan ke Indonesiaan, yang kemudian menjadi tujuan utamanya yaitu: terbinanya insan akademis, bpencipta, pengabdi, bernafaskan islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT.
Tujuan ini sekaligus menyadarkan pada kader HMI bahwa islam adalah bagian dari Indonesia, dan Indonesia adalah bagian dari umat islam, yang keduanya bersimbiosis mutualisme yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lain ditengah kemajemukan bangsa. Artinya eksistensi islam di tengah-tengah bangsa Indonesia tidak lain adalah sebagai ruh dan kekuatan konstruktif bangsa yang menjiwai seluruh ucapan, prilaku, sikap kader HMI dalam berkontribusi menata bangsa menuju ridlo Allah.
Insan akademis memberikan energi dan cita-cita, bahwa kader HMI memiliki keharusan untuk berpendidikan tinggi dalam konteks formal, dan berpengetahuan luas “al ilmu wasi’un” dalam konteks luas, agar mampu membaca alam, membaca kondisi zaman, dan mampu berbuat baik dan benar sesuai “sunatullah” dan “yanfauhum linnas” memberikan manfaat deluas-luasnya bagi kehidupan manusia yang lain secara universal.
Pencipta dalam konteks HMI, hakekatnya adalah ruang inovasi dan kreasi kader untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya, orang lain dan seluruh kehidupan di bumi dengan tanpa batasan waktu dan keadaan. Dalam arti lain seluruh kader HMI ber keharusan mendatagunakan seluruh potensi yang ada secara maksimal untuk kemajuan islam dan Indonesia.
Bernafaskan Islam, hakekatnya adalah membumikan nilai-nilai islam “islam subtantif” ditengah-tengah kehidupan keumatan dan kebangsaan, dengan meminimalisir sekecil mungkin “Simbolisme Islam” yang secara historis telah melahirkan petaka bangsa ditengah kemajemukan yang ada.
Bertangung jawab memiliki makna, bahwa kader himpunan adalah sosok yang amanah terhadap tugas yang diembannya, baik selalu pribadi dan juga selalu mahluk sosial. Artinya secara vertikal seluruh tugas dapat dipertanggungkaeabkan kepada penciptanya dan secara horisontal dapat dipertanggungjawabkan secara publik, atau dalam konteks lain disebut dengan, ihlas, tuntas dan lugas dalam amanah yang diembanya. Dan lokus semuanya adalah masyarakat adil dan makmur yang diridloi Allah SWT, sebagaimana tema yang diangkat pada dies natalis HMI ke 74 ini, yaitu mengokohkan komitmen keislaman dan keindonesiaan. “Go a had HMI. ”
Kopi jiwo sore, 5 Februari 2021