HJB Bojonegoro 348: Lahir dari Krisis, Bertahan karena Sinergi

oleh 77 Dilihat
oleh
(Grafis by chatgpt, sumber foto : https://baghumas.bojonegorokab.go.id/)

348 Tahun Sinergi Bojonegoro: Dari Sungai, Minyak, hingga Kemandirian

Setiap daerah lahir dari kisahnya sendiri. Bojonegoro, yang tahun ini menandai Hari Jadi ke-348 sekaligus 197 tahun sebagai kabupaten administratif, tidak tumbuh dari kemapanan. Ia lahir dari krisis, bertahan karena sinergi, dan terus bergerak menuju kemandirian.

Dari Djipang abad ke-17, Radjakwesi abad ke-19, hingga Bojonegoro modern tahun 2025, satu pola selalu berulang: ketika krisis datang, masyarakat dan pemimpinnya bersepakat untuk bergandengan tangan. Itulah semangat yang kini dihidupkan kembali melalui tema “Bersinergi untuk Bojonegoro Mandiri.”

Dari Djipang ke Radjakwesi: Akar yang Tumbuh dari Krisis

Catatan sejarah menyebut 20 Oktober 1677 sebagai awal perjalanan panjang ini — saat wilayah Djipang diakui sebagai kadipaten di bawah Mataram. Di masa itu muncul nama-nama seperti Ki Wirosentiko dan R.T. Hario Matahun I, dua pemimpin yang mengelola wilayah di tengah pergolakan politik Jawa.

Namun wilayah ini tak pernah benar-benar tenang. Krisis kekuasaan dan aliran Bengawan Solo yang berubah membuat peta administratif sering bergeser. Akhirnya, pada 9 Maret 1824, pemerintah Hindia Belanda membubarkan Kabupaten Djipang dan menggantinya dengan Radjakwesi.

Empat tahun kemudian, Perang Jawa (1825–1830) meluluhlantakkan Radjakwesi. Ibu kota di Ngoempak-Dalem hancur, memaksa pemerintah kolonial mencari lokasi baru yang aman. Melalui Staatsblad No. 8 dan No. 68 tahun 1828, lahirlah nama Bodjo-Negoro—“kota keramahan”—di wilayah Kebo-Gadoong, hadiah dari perubahan aliran Bengawan Solo. Dari reruntuhan dan perpindahan inilah Bojonegoro modern berdiri.

Krisis itu sekaligus melahirkan tatanan baru: pasar berpindah, pemerintahan dibangun ulang, masyarakat menata hidup di sekitar sungai. Bojonegoro belajar bahwa bertahan berarti bersinergi.

(Zijgevel van het regentschapskantoor en ingang van den kaboeppaten te Bodjonegoro 1933 /Tampak samping kantor kabupaten dan pintu masuk ke kantor kabupaten di Bojonegoro. Foto di edit dengan chatgpt.com)

Bengawan, Jati, dan Minyak: Alam yang Menguji dan Menghidupi

Alam Bojonegoro selalu menjadi panggung utama sinergi. Bengawan Solo memberi air dan kesuburan, tetapi juga banjir yang memaksa penduduk beradaptasi. Pada 1827, Asisten Residen P.J. Praetorius mencatat dalam Bataviasche Courant tentang minyak yang “mengalir dari celah batu” di Tinawoen—minyak tanah alami yang dimanfaatkan warga untuk penerangan. Catatan itu menjadi bukti bahwa “emas hitam” Bojonegoro sudah dikenal bahkan sebelum teknologi pengeboran datang.

(Menara Produksi Minyak , sumber foto : kitlv)

Menjelang akhir abad ke-19, perusahaan Belanda Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) membangun kilang di Tjepoe. Ladang Tinawoen–Kedewan di Bojonegoro menjadi pemasok utama. Minyak membawa pekerjaan, infrastruktur, sekaligus ketimpangan. Sinergi antara modal kolonial dan tenaga lokal berjalan pincang: keuntungan mengalir keluar negeri, sementara rakyat memikul beban lingkungan.

Baca Juga :   Ketua DPRD Bojonegoro Ikuti Prosesi Penyemayaman Api Abadi

Di masa yang sama, proyek irigasi besar Solo Valley muncul di bawah Politik Etis. Tujuannya mulia—memperbaiki pertanian dan ekonomi rakyat—tetapi berhenti di tengah jalan. Dari sana lahir pelajaran penting: sinergi yang dipaksakan dari atas tanpa akar sosial sering gagal tumbuh.

(Bouw van een dam bij Bodjonegoro/Pembangunan Bendungan di Bodjonegoro. Sumber foto : https://digitalcollections.universiteitleiden.nl. Di akses Sabtu 17-9-2021)

Kemerdekaan dan Eksperimen Rakyat: Republik Bojonegoro

Saat proklamasi 17 Agustus 1945 bergema, Bojonegoro menyambutnya dengan semangat tinggi.
Pada 24 September 1945, rakyat berkumpul di alun-alun kota dan memproklamasikan kemerdekaan daerah Karesidenan Bojonegoro sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Di masa revolusi itu pula muncul gagasan “Republik Bojonegoro”, sebuah eksperimen pemerintahan rakyat yang menempatkan komite dan petani sebagai pengambil keputusan. Meskipun berumur pendek, ia meninggalkan jejak penting: kemandirian bisa lahir dari bawah, dari kemampuan masyarakat menata dirinya sendiri tanpa menunggu instruksi pusat.

(aloon-aloon bodjonegoro tahun 1933. Sumber : Majalah Locale Techniek Tahun 1933)

Jejak Kepemimpinan dan Tantangan Modern

Sejarah Bojonegoro juga ditulis oleh para pemimpin yang menafsirkan sinergi menurut zamannya. Dari Ki Wirosentiko dan R.T. Matahun I, hingga deretan bupati setelah kemerdekaan, setiap generasi meninggalkan jejaknya sendiri.

Pada masa Suyoto – Setyo Hartono (2008–2018), Bojonegoro mencatat lompatan penting dalam pengentasan kemiskinan. Beragam program sosial dan inovasi kebijakan berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga Bojonegoro keluar dari daftar 10 kabupaten termiskin di Jawa Timur.
Visi pemerintahan terbuka dan tata kelola partisipatif menjadi ciri utama kepemimpinan mereka, meletakkan dasar bagi Bojonegoro yang lebih inklusif.

Baca Juga :   Mentjari Bodjonegoro berikut ini isi Pidato Presiden Soekarno saat di Bodjonegoro

Kepemimpinan berikutnya, Anna Mu’awanah – Budi Irawanto (2018–2023), melanjutkan arah pembangunan dengan fokus pada infrastruktur jalan dan jembatan. Dalam lima tahun masa jabatannya, Bojonegoro membangun ratusan kilometer jalan  dan memperkuat konektivitas antar kabupaten dan antardesa, menjadikan infrastruktur sebagai pondasi pemerataan ekonomi.

Kini, tongkat estafet itu dipegang oleh Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah (2025–2029). Keduanya memikul tanggung jawab besar di tengah tantangan baru: menjaga stabilitas fiskal setelah pemangkasan dana transfer pusat, memperluas manfaat migas bagi masyarakat, dan menguatkan diversifikasi ekonomi lokal agar Bojonegoro tak lagi bergantung pada satu sumber daya.

Di bawah tanah, Lapangan Banyu Urip terus menghasilkan miliaran dolar. Namun di atasnya, masih ada 11,46 persen penduduk miskin—sekitar 144 ribu jiwa—yang menunggu perubahan nyata. Sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat kini menjadi kunci untuk mengubah kekayaan alam menjadi kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.

(Salah satu ruas jalan poros Kabupaten Bojonegoro. Foto : bojonegorokab.go.id)

Refleksi 348 Tahun: Bersinergi untuk Bojonegoro Mandiri

Dari 1677 hingga 2025, pola sejarah Bojonegoro tak pernah berubah: krisis melahirkan kota, sinergi membuatnya bertahan. Bengawan Solo mengajarkan keseimbangan; minyak mengajarkan kehati-hatian; para pemimpin dan rakyatnya mengajarkan keteguhan dalam menghadapi perubahan zaman.

Kini, di usia 348 tahun, Bojonegoro menatap masa depan dengan kepemimpinan baru: Setyo Wahono dan Nurul Azizah. Mereka mewarisi sejarah panjang perjuangan para pendahulu—dari masa Suyoto–Setyo Hartono yang menurunkan kemiskinan, hingga Anna Mu’awanah–Budi Irawanto yang membangun konektivitas wilayah.
Tantangan mereka berbeda, tetapi tujuannya sama: menegakkan kemandirian ekonomi dan sosial Bojonegoro di tengah perubahan nasional.

Untuk

Bojonegoro Bahagia, Makmur dan Membanggakan “

(grafis by chatgpt)

Tema “Bersinergi untuk Bojonegoro Mandiri” bukan sekadar slogan seremonial, melainkan cermin dari perjalanan sejarah itu sendiri.
Seperti Bengawan Solo yang terus mengalir melewati bebatuan dan lembah, Bojonegoro pun akan terus mencari jalannya — dari krisis menuju kemandirian, dari sejarah menuju masa depan yang lebih adil dan berdaya.

Penulis: Syafik

Catatan :  Di olah dari berbagai sumber.