Saat Hatta Memilih Mundur: Kisah Retak Dwi Tunggal yang Mengguncang Republik

oleh 92 Dilihat
oleh
(Soekarno - Hatta)

Pada 1 Desember 1956, dunia politik Indonesia diguncang oleh satu peristiwa besar: Mohammad Hatta, sang Wakil Presiden dan salah satu founding father bangsa, resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri ini bukan sekadar pergantian posisi kenegaraan—ia menjadi tanda berakhirnya era Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, simbol persatuan nasional yang telah diperjuangkan sejak kemerdekaan 1945.

Bagaimana bisa dua tokoh yang bersama-sama memproklamasikan kemerdekaan, tiba-tiba berpisah jalan? Dan mengapa Hatta memilih mundur, padahal rakyat masih membutuhkan kehadirannya?

Dari Mitra Revolusi hingga Perpecahan: Benih Konflik yang Sudah Lama Tumbuh

Sejak Agustus 1945, Soekarno dan Hatta dikenal sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Mereka adalah Dwi Tunggal—dua tokoh yang melambangkan persatuan ideologi, perjuangan, dan kepemimpinan nasional. Soekarno, sang orator ulung, membawa semangat revolusi. Hatta, sang intelektual, menjadi “nurani bangsa” dengan prinsip anti-korupsi, ekonomi kerakyatan, dan kejujuran.

Namun, seiring waktu, perbedaan visi muncul. Soekarno ingin memperpanjang semangat revolusi sebagai alat legitimasi kekuasaan. Hatta justru menilai bahwa revolusi harus diakhiri agar pembangunan dapat berjalan stabil.

Dalam surat kabar Belanda Winschoter Courant edisi 3 Februari 1956, Hatta dikutip menyatakan:

“Nog slechts enkele dagen geleden plaatste Hatta zich diametraal tegenover Soekarno toen hij zeide, dat een analyse zou aantonen dat alle politieke anarchie, die thans bestaat, het gevolg is van een nationale revolutie, die niet op tijd werd beëindigd.”

Pernyataan ini menjadi kritik tajam terhadap kebijakan Soekarno—dan salah satu tanda awal bahwa kesatuan mereka hanyalah ilusi.

Alasan Utama: “Saya Tidak Pernah Dikonsultasi”

Puncak ketegangan terjadi pada akhir 1956. Dalam surat resmi kepada Ketua Parlemen, Mr. Sartono, Hatta menyatakan bahwa selama bertahun-tahun, ia tidak pernah diajak berkonsultasi dalam keputusan penting oleh Presiden Soekarno.

Fakta ini dikonfirmasi oleh Dagblad Boor Noord-Limburg edisi 4 Desember 1956:

“De afgetreden Indonesische vice-president Mohammed Hatta heeft zijn functie neergelegd omdat hij nooit door Soekarno werd geraadpleegd in belangrijke staatszaken.”

Salah satu contoh yang disebut Hatta adalah keputusan sepihak Soekarno untuk memotong hukuman mantan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, yang terbukti menerima suap—tanpa berkonsultasi dengannya sama sekali.

Baca Juga :   Refleksi Pemikiran Soekarno, Gusdurian: Modernisasi Pembangunan Jangan Hilangkan Kearifan Lokal

Lebih dari sekadar masalah prosedur, ini adalah pukulan terhadap prinsip keadilan dan integritas yang selama ini dijunjung tinggi Hatta.

“Dwi Tunggal Hanya Ada dalam Kata-Kata”

Dalam pertemuan dengan delegasi parlemen yang berusaha membujuknya mencabut pengunduran diri, Hatta membuat pernyataan mengejutkan:

“Tot een parlementaire delegatie, die Hatta bezocht heeft om hem van zijn besluit af te brengen, zou Hatta hebben gezegd, dat de hele „twee-eenheid Soekarno-Hatta” slechts in woorden bestond.”
Dagblad Boor Noord-Limburg, 4-12-1956

Pernyataan ini mengguncang banyak pihak. Jika Dwi Tunggal, simbol persatuan nasional, hanyalah retorika, lalu di mana letak kekuatan bangsa?

Reaksi Hebat: Krisis Politik dan Tangisan di Parlemen

Pengunduran diri Hatta memicu gelombang reaksi luas. Banyak pihak merasa kehilangan sosok yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Dalam Nieuwsblad van het Noorden edisi 22 Agustus 1956, anggota parlemen Soetan Mangkuto memperingatkan:

“Het land in gevaar zou zijn”, indien vice-president Hatta zijn functie neer zou leggen… Mangkoeto zei, dat Hatta’s ontslag zeker een politieke crisis zou veroorzaken.”

Di parlemen, seorang anggota dari partai kecil bahkan menangis tersedu-sedu saat membahas resolusi atas pengunduran diri Hatta. Sementara itu, militer—melalui Jenderal A.H. Nasution dan Kolonel Gatot Subroto—mendesak rekonsiliasi, karena perpecahan di pucuk pimpinan dinilai berdampak langsung pada stabilitas TNI.

Serangan dari Komunis: Tuduhan Kaya dari Korupsi

Sementara banyak pihak menghormati Hatta, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan surat kabar Harian Rakyat justru memanfaatkan situasi untuk menyerangnya secara pribadi. Mereka menuduh Hatta memperkaya diri secara ilegal, termasuk membangun rumah mewah dan membiayai perjalanan istrinya ke Singapura.

Tuduhan ini dibantah keras oleh keluarga dan teman-teman Hatta. Dalam pernyataan resmi yang dilaporkan Niewsblad van het Zuiden (20-8-1956):

“Familieleden en goede vrienden van vicepremier Moh. Hatta hebben zaterdag een verklaring uitgegeven, waarin categorisch de „laster” van het communistische blad „Harian Rakjat” wordt tegengesproken.”

Mereka menegaskan bahwa Hatta menolak tawaran rumah dari teman-temannya karena ingin rumahnya “hasil dari usaha sendiri”—bukti nyata dari hidup sederhana dan integritas yang tak tergoyahkan.

Baca Juga :   Ketua DPRD Bojonegoro Abdulloh Umar, Bacakan Teks Proklamasi di Upacara HUT RI ke 79

Upaya Rekonsiliasi: Surat dari Soekarno dan Penolakan Akhir

Setelah pengunduran diri, tekanan untuk memulihkan Dwi Tunggal terus meningkat. Pada Maret 1957, parlemen membentuk Komite Sembilan untuk memediasi rekonsiliasi. Soekarno bahkan mengirim surat pribadi melalui Jenderal Nasution dan Kolonel Gatot Subroto, mengundang Hatta kembali sebagai Wakil Presiden. Namun, Hatta menolak.

Pada 17 Desember 1957, Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant melaporkan:

“Dr Moh. Hatta heeft geweigerd wederom vicepresident te worden… Hatta wil liever ambteloos burger blijven, maar bereid is als adviseur van de president op te treden.”

Penolakan ini didasari perbedaan mendasar: Soekarno ingin membentuk kabinet “semua partai” yang termasuk PKI. Hatta, sebagai anti-komunis teguh, menilai hal itu akan membahayakan nilai kebangsaan dan stabilitas politik.

Warisan Hatta: Lebih dari Sekadar Wakil Presiden

Pengunduran diri Hatta bukan tanda kelemahan—melainkan bukti integritas tertinggi. Ia memilih meninggalkan kekuasaan daripada menjadi simbol kepemimpinan yang hampa. Setelah mundur, Hatta menghabiskan waktunya di Megamendung, menulis buku, dan menjadi penasihat moral bagi bangsa. Ia menolak gelar kehormatan, menolak fasilitas negara, dan tetap hidup sederhana hingga akhir hayat.

Seperti yang dilaporkan Algemeen Handelsblad (5-10-1954):

“Vice-president Hatta sou ontslag hebben gevraagd… Volgens Keng Po heeft Hatta de brief overhandigd voor het vertrek van premier Sastroamidjojo naar New Delhi op 21 September.”

Ini menunjukkan bahwa benih pengunduran diri telah tumbuh sejak lama—bukan karena ambisi pribadi, tapi karena kepedulian terhadap nasib bangsa.

Saat Prinsip Lebih Penting daripada Kekuasaan

Pengunduran diri Mohammad Hatta pada 1 Desember 1956 bukan sekadar akhir jabatan—ia adalah hari ketika seorang negarawan memilih kebenaran di atas kekuasaan.

Dalam sejarah Indonesia, Dwi Tunggal Soekarno-Hatta mungkin telah runtuh. Tapi warisan Hatta—sebagai bapak koperasi, pejuang demokrasi, dan simbol integritas—tetap hidup.

Dan di tengah arus politik yang sering kali mengorbankan prinsip demi kekuasaan, Hatta mengingatkan kita: bahwa menjadi warga negara yang berintegritas, kadang lebih berani daripada menjadi presiden.

Penulis : Syafik

Sumber : Arsip Surat Kabar Belanda (delpher.nl)