Damarinfo.com – Bicara soal kemiskinan, rasanya tak pernah ada ujungnya. Dari pusat hingga daerah, semua sibuk mencari cara menurunkan angka kemiskinan. Ragam program bantuan pun diluncurkan: Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), Bantuan Langsung Tunai (BLT), jaminan kesehatan, sambungan listrik gratis, hingga bantuan untuk lansia. Di Jawa Timur, ada juga Jatim Puspa dan Peti Koin Bermantra yang cukup menarik perhatian.
Namun di Bojonegoro, ceritanya seperti jalan di tempat. Sejak 2016, kabupaten ini masih berada di peringkat ke-11 daerah termiskin di Jawa Timur. Padahal, APBD Bojonegoro 2024 mencapai Rp8,3 triliun—terbesar kedua se-Jawa Timur. Sayangnya, anggaran jumbo ini belum mampu mempercepat penurunan kemiskinan. Data tahun 2024 mencatat masih ada 147.330 warga miskin di Bojonegoro. Jumlah yang tentu tidak sedikit.
Pemkab Bojonegoro sebenarnya tidak tinggal diam. Program bantuan telah digulirkan: BPJS gratis, beasiswa kuliah, Program Petani Mandiri, Program Pedagang Produktif, bedah rumah, hingga santunan disabilitas, anak yatim, dan lansia. Tapi, angka kemiskinan tetap sulit bergeser.

Kini, di bawah kepemimpinan baru Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah, muncul terobosan segar: Gerakan Ayam Petelur Mandiri (Gayatri). Lewat program ini, 10% Alokasi Dana Desa dialokasikan untuk mendorong warga beternak ayam petelur dengan dukungan penuh dari Dinas Peternakan. Harapannya, dari kandang ayam, dompet warga ikut “bertelur”.
Bisakah Ayam Jadi Penutup Jurang Kemiskinan?
Mari berhitung sederhana. Dengan 50 ekor ayam petelur, satu keluarga bisa menghasilkan Rp29.000–30.000 per hari (akun youtube piti’IQ Farm/https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=mDgB8nF6QLI diakses pada hari minggu 13-4-2025) . Dalam sebulan, pendapatan mereka bisa mencapai Rp870.000–900.000. Jika dibandingkan dengan garis kemiskinan Bojonegoro yang hanya Rp471.000 per bulan, angka ini cukup menjanjikan.
Tapi, tentu saja bukan sekadar bagi-bagi ayam, lalu masalah selesai. Tanpa perencanaan matang, ayam-ayam itu bisa berubah jadi beban baru.
Apa Saja Hambatannya?
- Kurangnya Pengetahuan Beternak
Tidak semua warga miskin paham cara merawat ayam apalagi jika sudah lansia. Diperlukan ilmu soal pakan, vitamin, kesehatan kandang, dan pencegahan penyakit. - Keterbatasan Lahan
Banyak warga miskin tak punya ruang untuk kandang. Bisa jadi masalah dengan tetangga atau lingkungan kotor. - Pasar Tidak Pasti
Telur harus cepat terjual. Tanpa pasar yang jelas, harga bisa anjlok atau tidak laku. - Pendampingan Minim
Warga miskin butuh pendampingan berkelanjutan, bukan cuma saat pembagian ayam.
Jangan Sampai Jadi Proyek Musiman
Program Gayatri diperkirakan membutuhkan Rp15 juta per keluarga. Dari Alokasi Dana Desa Rp43,9 miliar, bisa menjangkau sekitar 3.000 keluarga atau 11.700 orang. Tapi untuk naik satu peringkat dari posisi ke-11, Bojonegoro harus mengangkat 13.662 orang miskin setiap tahun. Tantangan yang tidak ringan.
Tanpa pengelolaan serius, Gayatri rawan jadi proyek bagi-bagi ayam tanpa arah. Padahal, di balik program ini ada harapan ribuan keluarga.
Bagaimana Agar Gayatri Benar-Benar Berdampak?
- Seleksi dan Latih Warga yang Serius
Libatkan RT/RW dan Dinas Peternakan. Sediakan pelatihan intensif dan sertifikat.
Lakukan pendampingan rutin, libatkan peternak senior atau dosen peternakan. - Pastikan Telur Mudah Dijual
Bentuk kerja sama dengan BUMDes/koperasi desa.
Manfaatkan e-commerce lokal dan layanan antar. - Integrasi Program
Tambahkan pelatihan kewirausahaan dan pengolahan telur.
Sinkronisasi dengan program listrik dan air bersih.
Libatkan ExxonMobil, Pertamina EP Cepu, dan lainnya melalui CSR. - Buat roadmap pengentasan kemiskinan setidaknya dalam lima tahun dengan target terukur.
- Libatkan Semua Elemen
Ajak Universitas Bojonegoro (Unigoro) untuk produksi pakan murah.
Gandeng LSM seperti IDFoS untuk pendampingan warga.
Dus, Kemiskinan bukan sekadar soal angka. Di balik statistik itu ada wajah-wajah lelah, dapur yang tak selalu berasap, dan anak-anak yang harus membungkus cita-cita karena tidak punya bekal.
Gayatri bisa jadi harapan baru. Tapi harapan tanpa persiapan hanya akan melahirkan kekecewaan. Jika program ini sekadar menggugurkan kewajiban, maka ayam-ayam itu akan jadi saksi bisu kegagalan kita sebagai masyarakat yang abai.
Sebaliknya, jika dikelola dengan hati, ilmu, dan sinergi lintas pihak, maka telur-telur itu bisa menjadi simbol kebangkitan—bukan hanya bagi satu keluarga, tapi bagi masa depan Bojonegoro yang lebih berdaya.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah ayam bisa mengentaskan kemiskinan, tapi apakah kita semua—pemerintah, desa, masyarakat, dan pemangku kepentingan—mau bekerja sungguh-sungguh untuk itu? Jangan biarkan program ini berlalu seperti angin. Karena bagi ribuan keluarga miskin, ini bukan sekadar proyek. Ini mungkin satu-satunya peluang untuk bangkit.
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pengentasan Kemiskinan dan Kemiskinan Ekstrem adalah panggilan untuk bergerak. Komitmen Pemkab Bojonegoro perlu dibarengi dengan langkah-langkah nyata, berkelanjutan, dan kolaboratif.
Program Gayatri bukan sekadar soal ayam dan telur, tapi ujian atas keseriusan kita keluar dari lingkaran kemiskinan. Jika eksekusinya tepat dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin, angka kemiskinan Bojonegoro benar-benar akan “pecah telur”.
Dan Bojonegoro Bahagia, Makmur dan Membanggakan bisa terwujud.
Penulis : Syafik