Menguji Data Damisda untuk Program Pemimpin Baru Bojonegoro

oleh 218 Dilihat
oleh
(Tangkapan Layar Peta Sebaran Damisda. Sumber : https://damisda.bojonegorokab.go.id/)

Damarinfo.com – Ketika pasangan Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Bojonegoro Nurul Azizah dilantik untuk masa jabatan 2025–2030, mereka mewarisi banyak hal dari pemerintahan sebelumnya—salah satunya adalah data. Di antara data yang tampak teknokratis itu, ada satu yang krusial bagi arah pembangunan dan penanggulangan kemiskinan: Data Mandiri Masyarakat Miskin Daerah (Damisda).

Damisda adalah hasil pendataan rumah tangga miskin (RTM) berbasis desa yang dilakukan oleh Pemkab Bojonegoro sejak 2022. Jumlah desa dan kelurahan di Bojonegoro adalah 430, namun ada satu desa yang tidak masuk dalam data Damisda yakni Desa Kepohkidul Kecamatan Kedungadem.

Hasil pendataan ini menjadi basis program dalam pelaksanaan berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti beasiswa, santunan duka, program Aladin, dan berbagai program sosial lainnya.

Masalahnya, data yang diklaim valid ini justru menyisakan banyak pertanyaan. Mari kita telaah data Damisda yang diunduh dari laman resmi damisda.bojonegorokab.go.id. (diunduh pada 26-Maret-2025)

Tren Penurunan yang Penuh Tanda Tanya

Jika melihat data Damisda dalam tiga tahun terakhir, terlihat tren penurunan jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM):

  • 2022: 58.980 RTM
  • 2023: 55.129 RTM (turun 3.851 RTM atau 6,5%)
  • 2024: 54.064 RTM (turun 1.065 RTM atau 1,9%)
(Grafik Penurunan RTM tahun 2022-2024. data diolah https://damisda.bojonegorokab.go.id/)

Di permukaan, penurunan ini tampak menggembirakan. Namun ada beberapa pertanyaan mendasar yang layak diajukan:

  1. Mengapa angka Damisda tidak sejalan dengan data BPS?
    BPS mencatat bahwa penurunan jumlah penduduk miskin Bojonegoro pada 2023 hanya sebesar 150 jiwa. Sementara, data Damisda mencatat ada 3.851 RTM yang keluar dari kategori miskin. Jika satu rumah tangga diasumsikan berisi tiga orang, seharusnya ada 11.553 jiwa yang terentaskan—selisih yang sangat besar.
  2. Mengapa penurunan paling drastis justru terjadi pada tahun pertama (2022–2023)?
    Apakah ini benar-benar hasil program yang efektif? Atau sekadar penyisiran awal dan pembersihan data dari pendataan yang sebelumnya tidak akurat?
  3. Mengapa laju penurunan melambat tajam pada tahun kedua (2023–2024)?
    Apakah program mulai kehilangan efektivitasnya ataukah daya intervensi program memang terbatas?
Baca Juga :   GAYATRI, Terobosan Bupati dan Wabup Bojonegoro untuk Gizi dan Ekonomi Warga

Paradoks yang Mencolok: Satu Kabupaten, Dua Realita

Disparitas antar kecamatan juga mencuat mencolok. Ngraho dan Gayam mencatatkan penurunan RTM hingga 40 persen lebih dalam dua tahun (2022-2024). Di sisi lain, Kanor, Baureno, dan Trucuk justru mencatat kenaikan jumlah RTM hingga lebih dari 40 persen. Satu kabupaten, dua realitas.

Apa yang membuat program pengentasan miskin begitu efektif di satu tempat, tapi gagal total di tempat lain? Apakah soal alokasi anggaran, kualitas pelaksanaan, atau hanya karena beberapa wilayah lebih rajin mendata ulang warganya?

Contoh mencolok terjadi di Kecamatan Trucuk, yang mengalami lonjakan RTM sebesar 51 persen. Padahal tak ada bencana besar atau gejolak ekonomi lokal yang dilaporkan. Sebaliknya, Kecamatan Gayam—wilayah sekitar proyek migas Banyu Urip—mendadak “naik kelas” dengan penurunan kemiskinan hingga 43 persen. Apakah ini cerminan dari dampak industri ekstraktif, atau justru karena “pembersihan data”?

Tabel: Kecamatan dengan Penurunan dan Kenaikan RTM Signifikan

(Tabel Kecamatan dengan Penurunan tertingi dan kenaikan tertinggi. data diolah dari https://damisda.bojonegorokab.go.id/)

Anomali dan Inkonsistensi

Ada pula daerah yang stagnan, seperti Sumberejo dan Sukosewu. Di tengah gempuran berbagai program pengentasan, stagnasi ini justru menimbulkan tanda tanya: apakah program tak menyentuh mereka, atau pendataan yang tak bergerak?

Inkonsistensi juga terlihat di Kecamatan Kapas. Data 2022–2023 menunjukkan penurunan, namun 2023–2024 justru meningkat. Bisa jadi ini hasil revisi kriteria, atau rumah tangga yang sempat “hilang” dari data lalu dimasukkan kembali. Tanpa penjelasan metodologis yang terbuka, publik hanya bisa menduga-duga.

Baca Juga :   Bupati Bojonegoro Dukung Prestasi Pencak Silat, Kejuaraan Bupati Cup Akan Digelar

Saatnya Evaluasi: Apa yang Perlu Dibenahi?

  1. Transparansi Metodologi
    Pemkab perlu menjelaskan secara terbuka bagaimana metode pendataan dilakukan, apakah ada revisi indikator atau pendekatan baru yang digunakan.
  2. Sinkronisasi Data dengan BPS
    Ketidaksesuaian antara Damisda dan data BPS dapat menimbulkan kebingungan, bahkan ketidakpercayaan publik terhadap capaian yang diumumkan.
  3. Audit dan Verifikasi Independen
    Perlu dilakukan audit atau verifikasi oleh pihak independen agar data yang digunakan dalam kebijakan publik benar-benar akurat dan mencerminkan kondisi riil.
  4. Kebijakan yang Adaptif dan Kontekstual
    Pemerintah daerah perlu memahami dinamika masing-masing kecamatan dan tidak menerapkan pendekatan one size fits all. Evaluasi berkala harus dijadikan instrumen perbaikan.

Kepemimpinan Dimulai dari Data

Data bukan sekadar angka. Ia adalah fondasi keputusan. Tanpa data yang andal, program kemiskinan bisa salah sasaran, bahkan menciptakan ketidakadilan baru.

Pemerintahan baru di Bojonegoro, yang dipimpin oleh Mas Wahono dan Bu Nurul (Begitu mereka akrab disapa), mewarisi Damisda sebagai warisan data strategis. Tapi mewarisi bukan berarti menerima mentah-mentah. Mereka dituntut untuk melakukan evaluasi data Damisda agar mendapatkan data yang valid.

Bojonegoro tak kekurangan program. Tapi tanpa data yang jujur dan terbuka, semua akan jadi fatamorgana. Pemimpin baru punya kesempatan memulai dengan pijakan yang benar.

Kini saatnya menjadikan Damisda bukan sekadar warisan, tapi alat kontrol yang akuntabel. Data harus dibuka, diuji, dan diawasi bersama. Karena mengurangi kemiskinan bukan soal klaim, tapi soal keberanian melihat kenyataan dan bertindak atasnya. Agar Bojonegoro “Makmur dan Membanggakan” bisa terwujud dalam kepemimpinan Mas Wahono dan Bu Nurul. 

Penulis: Syafik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *