Bengawan Solo yang Tak Terkendali: Dari Mimpi Ir. Pierson hingga Kehilangan Visi Air Bojonegoro (1892–1901)

oleh 94 Dilihat
oleh
(Kaart van de Solovalleiwerken” yang dimuat dalam Soerabaijasch Handelsblad, edisi 8 November 1901)

Bengawan yang Selalu Meluap, Sejarah yang Berulang

Di tepi Bengawan Solo yang tenang di musim kemarau dan liar di musim hujan, Bojonegoro menyimpan kisah panjang tentang air, mimpi, dan kehilangan arah. Seabad lebih yang lalu, seorang insinyur Belanda bernama Ir. Pierson pernah membayangkan Bengawan Solo sebagai sumber kehidupan, bukan ancaman.

Ia datang bukan hanya membawa peta dan rumus hidrolika, tetapi juga visi besar tentang masa depan lembah Bengawan — sebuah visi yang kini nyaris lenyap di antara tumpukan rencana tahunan dan proyek tambal sulam.

Ketika Air Masih Dipandang Sebagai Peradaban

Akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda menghadapi tantangan besar: banjir yang melanda lembah Bengawan Solo setiap tahun, menghancurkan sawah, rumah, dan kota kecil dari Ngawi hingga Bojonegoro. Tahun 1892, mereka membentuk proyek ambisius bernama Solo Vallei Werken (Pekerjaan Lembah Solo).

Ir. Pierson ditugaskan memimpin survei teknis untuk menjinakkan sungai yang sering disebut Bengawan Solo — Bengawan bagian bawah yang mengalir melalui Bojonegoro. Dalam laporan De Locomotief, 21 November 1892, disebutkan:

“Het plan van den ingenieur Pierson beoogt niet slechts den vloed te beteugelen, maar ook het water tot nut van den landbouw te leiden.”
Rencana insinyur Pierson tidak hanya bertujuan menahan banjir, tetapi juga menuntun air agar bermanfaat bagi pertanian.

Pierson percaya bahwa air adalah kunci peradaban Jawa. Maka, sungai tak boleh hanya dibiarkan mengalir, tetapi harus diarahkan — disalurkan, ditata, dan dimanfaatkan. Dari ide itu lahirlah rancangan jaringan waduk, tanggul, dan saluran irigasi yang saling terhubung dari Solo hingga Tuban.

Namun, proyek besar itu penuh tantangan. Pekerjaan lapangan berlangsung antara 1893 hingga 1901, dengan ribuan pekerja menggali kanal dan memperkuat tanggul di Babat, Bojonegoro, dan Cepu. Tetapi biaya membengkak dan efektivitas teknisnya dipertanyakan.

Dalam laporan pemerintah kolonial tahun 1901 tertulis getir:

“De kosten zijn gestegen, maar het water blijft zich verzetten.”
Biaya terus meningkat, namun air tetap melawan.

Akhirnya, proyek Solo Vallei Werken dihentikan. Pierson mundur, dan pemerintah mengalihkan dana ke proyek lain. Bengawan Solo tetap menjadi sungai yang liar — menghidupi, sekaligus menghancurkan.

Baca Juga :   Ketika Petani Melawan: Kisah 22 Rakyat Padangan Menolak Ganti Rugi Paksa Zaman Belanda

Air yang Tak Lagi Diperjuangkan

Kini, lebih dari seabad kemudian, Bengawan Solo masih sama: kadang kering, kadang meluap, dan selalu dibiarkan tanpa arah. Bedanya, jika dulu air dipandang sebagai poros peradaban, kini ia hanya menjadi urusan administratif antar-dinas.

Ironisnya, Bojonegoro belum memiliki master plan sistem pengairan, padahal daerah ini dikenal dengan hamparan sawah luas dan jaringan sungai alami yang kompleks. Data Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air Bojonegoro menunjukkan tidak ada pembangunan waduk baru dalam satu dekade terakhir. Jaringan irigasi yang aktif hanya bersumber dari sistem peninggalan kolonial seperti Waduk Pacal (1933) serta beberapa embung kecil hasil proyek sporadis.

Tahun Jumlah Waduk Volume (m³) Area (Ha)
2019 2 22.000.000 17.513
2020 2 22.000.000 17.513
2021 3 44.430.000 17.513
2022 3 49.900.000 17.513
2023 2 22.000.000 17.513

Demikian pula pada jaringan irigasi. Sejak 2020 hingga 2023, tidak ada penambahan panjang saluran primer, sekunder, atau tersier.

Total kebutuhan air baku tetap 27.264 hektare, menandakan tidak ada pembukaan areal irigasi baru selama empat tahun berturut-turut.

Tahun Luas Baku (Ha) Panjang Saluran Primer (m) Sekunder (m) Tersier (m)
2020 27.264 99.836 252.190 76.503
2021 27.264 99.836 252.190 76.503
2022 27.264 99.836 252.190 76.503
2023 27.264 99.836 252.190 75.503

Angka-angka ini menunjukkan sebagian besar aliran masih bergantung pada kanal dan saluran peninggalan masa kolonial. Bojonegoro seolah berhenti dalam waktu — hidup dari warisan teknis masa lalu tanpa menyiapkan rancangan masa depan.

(Infografis by chatgpt)

Kehilangan “Visi Air Bojonegoro”

Jika dulu Pierson memiliki visi air yang terang — air sebagai pusat kesejahteraan — kini Bojonegoro kehilangan visi itu. Tidak ada arah besar tentang bagaimana air dikelola sebagai ekosistem pembangunan.

Baca Juga :   Mentjari Bodjonegoro Siapa Boepati Bodjonegoro Tahun 1937?  R. Dradjat atau R.T. Prawirosoedjono?

Padahal, Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah, yang baru dilantik Februari 2025, sudah menempatkan pertanian dan sumber daya air sebagai prioritas dalam RKPD 2026. Dalam forum pembahasan rencana pembangunan, Wahono menegaskan:

“Meskipun pelaksana teknisnya ada di satu dinas, tetapi harus ada keselarasan lintas sektor. Komunikasi antar-OPD menjadi sangat penting agar program berjalan maksimal.”

Namun tanpa blueprint besar, program-program itu hanya akan menjadi potongan puzzle tanpa gambar utuh. Tidak ada dokumen yang menjawab bagaimana air akan dikelola lintas sektor, antar-wilayah, dan antar-musim.

Menggali Kembali Semangat Pierson

Pierson mungkin tak lagi diingat oleh masyarakat Bojonegoro, tetapi warisannya tersisa dalam bentuk ide: bahwa air adalah soal peradaban, bukan sekadar urusan banjir dan sawah.

“Wie het water beheerscht, beheerscht het leven,” tulisnya dalam catatan proyek tahun 1896.
Barang siapa menguasai air, ia menguasai kehidupan.

Kalimat itu terasa seperti gema masa lalu yang kini kembali relevan. Ketika perubahan iklim memperparah siklus banjir dan kekeringan, Bojonegoro membutuhkan visi air baru — bukan sekadar proyek perbaikan, tetapi strategi menyeluruh yang menyatukan sungai, waduk, irigasi, dan manusia.

Saatnya Merancang Ulang Visi Air Bojonegoro

Bojonegoro tidak boleh terus hidup dari warisan kolonial. Waduk Pacal dan sistem irigasi peninggalan Belanda adalah bukti bahwa visi besar bisa lahir bahkan di masa penjajahan. Kini, di masa merdeka, sudah seharusnya Bojonegoro memiliki Master Plan Sistem Pengairan Terpadu — sebuah rencana induk yang menuntun pembangunan air untuk 50 tahun ke depan.

Tanpa itu, Bojonegoro akan terus kehilangan arah, kehilangan air, dan kehilangan masa depan.

“Seperti Bengawan yang tak terkendali — mengalir tanpa tahu ke mana harus bermuara.

Penulis :Syafik

Sumber : De Locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, edisi 21-11-1892, Soerabaijasch Handelsblad, 8 November 1901, RKPD Bojonegoro 2026.