Di Padangan Lahir, NU Besar di Bojonegoro  

oleh
oleh
(Ucapan Selamat Hari lahir (Harlah) NU, 31 Januari 1926-31 Januari 2020)

Jejak Nahdlatul Ulama (NU) dengan Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, punya pertalian sejarah yang kuat. Padangan dengan cerita para tokoh dan akar Islam-nya yang kuat, ternyata menjadi cikal bakal lahirnya NU di Bojonegoro.

Pada hitungan kalender masehi, NU sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia, kini telah berusia 94 tahun—berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926. Sedangkan di Bojonegoro secara resmi baru berdiri tahun 1952, setelah Muktamar NU di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Meski demikian sebenarnya jam’iyah Nahdiyah ini sudah masuk ke wilayah Bojonegoro tahun 1938/1938. Yaitu bertepatan dengan bulan Maulid dalam kalender hijriyah di Kawedanan Padangan.

Ada sejumlah pendiri NU dan tokoh-tokohnya pada periode awal di Padangan. Seperti adalah KH. Hasyim yang menjabat Rois, KH. Marwan (Ketua), K. Sofwan (Sekretaris merangkap Bendahara) dengan dibantu Nur Salim, K. Chakam, H. Masjkuri, Wiji, Mat Salim dan beberapa nama lain yang tidak dapat disebutkan.

Pada tahun lima puluhan perkembangan cabang NU di Padangan semakin terstruktur. Ini ditandai dengan kepengurusan yang lebih lengkap serta berdirinya badan otonom. Seperti Gerakan Pemuda Ansor, IPNU, IPPNU , Fatayat dan Muslimat.

Setelah berdirinya NU di Padangan, beberapa wilayah lain di bagian barat Kabupaten Bojonegoro mulai terbentuk. Di antaranya Kecamatan Kasiman, Ngraho, Tambakrejo, Purwosari dan wilayah lain. Dari sinilah cikal bakal organisasi NU di Bojonegoro berkembang. Pada masa sebelum kemerdekaan, di jantung Kabupaten Bojonegoro sendiri NU belum terbentuk. Meski demikian sudah banyak berdiri pondok pesantren, seperti di Kendal-Sumbertlaseh, Sukorejo, Banjarsari, Wedi, Kalitidu, Sekaran-Balen.

Gerakan pengenalan NU juga semarak dilakukan oleh tokoh-tokoh dari luar Bojonegoro. Seperti KH. Sholeh Hasyim bin KH. Hasyim (Pendiri NU Padangan) menantu K. Yahya tokoh agama di Kelurahan Kauman. KH. Sholeh Hasyim diberikan kepercayaan untuk menjadi Imam dan Khotib di Masjid Besar Bojonegoro. Tokoh luar kota lainya adalah KH. Bulya Putra dari H. Umar Rais dari Sekaran, Balen. Berikutnya H. Ma’sum seorang Ajun Penghulu dari Sumbertlaseh. Ada lagi seorang ajun bank yakni Reksodikromo serta M. Supeno seorang pegawai kepenghuluan.

Baca Juga :   Surat Redaksi NU, Khittah dan Kekuasaan

Upaya sosialiasi tokoh-tokoh untuk berdirinya NU di Bojonegoro terus berlanjut hingga pada masa pendudukan Jepang. Pada masa ini seorang penghulu dari Karanji, Gresik yakni KH. Abdul Karim ikut memperkuat barisan para tokoh dalam merintis terbentuknya NU di Bojonegoro.

Sepeninggal KH. Sholeh Hasyim dan KH. Abdul Karim, tokoh dari luar Bojonegoro tepatnya dari Pesantren Al Falah Mangunsari, Tulungagung. Yakni K. Rahmat Zuber yang sengaja diboyong oleh Residen (Bupati) Bojonegoro untuk menjadi Imam Rowatib (sholat lima waktu) di Masjid Besar Bojonegoro. Tentu saja ini menjadi cita-cita terbentuknya NU di Bojonegoro mendekati kenyataan. Apalagi K. Rahmat Zuber ini adalah murid dari pendiri NU, yakni KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Sansyuri. Tentu saja ini menjadikan semangat K Rahmat untuk mendirikan NU di Bojonegoro semakin besar.

Nahdlatul Ulama Bojonegoro diawali dari sebuah forum yang dibentuk oleh K. Rahmat. Forum yang berisikan para Kyai di Bojonegoro ini dinamakan Front Ulama. Pada Muktamar NU di Palembang tahun 1952, diputuskan bahwa NU keluar dari Partai Majelis Syuro Muslimini Indonesia (Masyumi). Kemudian membentuk partai sendiri, bernam Partai NU.

Keputusan ini mendorong Front ulama untuk mendirikan Partai NU di Bojonegoro. Dalam waktu yang singkat kepengurusan Partai NU di Bojonegoro terbentuk bersamaan dengan diselenggarakannya Konferensi Wilayah Partai NU Jawa Timur di Kediri tahun 1953. Kepengurusan awal Partai NU terdiri dari, untuk posisi syuriah terdapat K. Balya (Mojokampung, Kota Bojonegoro), KH. Colil (Pasinan, Baureno) dan K. Masruchin Ma’sum (Kauman-Bojonegoro). Sementera jajaran Tanfidziyah, K. Rahmat Zuber sebagai ketua , M. Dimyati Lutfi (Kalitidu) menjabat wakil ketua.

Baca Juga :   Surat Redaksi NU, Khittah dan Kekuasaan

Sebagai partai politik, NU berlanjut hingga pada masa Orde Lama, begitu juga di Bojonegoro. Setelah Orde Baru ada kebijakan fusi (penggabungan) partai politik sehingga dengan sendirinya Partai NU dibubarkan dan jadi satu bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973.

Sementara NU sebagai organisasi non partai tetap berjalan dengan konsep perjuangan dalam bidang da’wah, pendidikan, sosial dan ekonomi. Meski sudah tidak menjadi partai poltiik, tokoh-tokoh NU tetap menjadi pengurus dari PPP bahkan pucuk pimpinan PPP Cabang Bojonegoro diisi oleh tokoh dari NU, yakni AA Taufik dari Ledok Wetan yang juga Ketua Tanfidz NU Bojonegoro.

Penegasan melepaskan NU dari partai politik atau dengan istilah kembali ke Khittoh 1926, baru diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama NU Tahun 1983 di Situbondo. Kemudian dikukuhkan pada Musyawarah Alim Ulama NU di tempat yang sama pada tahun 1984.

Pasca Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 bulan Desember, terdapat keputusan untuk menggabungkan dua cabang atau lebih dalam satu kabupaten. Maka untuk menjadi cabang, pada tanggal 26 Januari 1986 diselenggarakan Konferensi Istisna’i (luar biasa) untuk menggabungkan PCNU Bojonegoro dan PCNU Padangan. Dalam konferensi ini diputuskan Rois Syuriah adalah KH. M. Dimyati dari Dander dengan Ketua Tanfidz KH. Ali Syafi’i juga dari Dander.

Demikianlah NU Bojonegoro berawal dari Padangan dan Besar di Bojonegoro pasca Khittoh 1926.

Sumber : buku “NU Bojonegoro dalam Lintas Sejarah”, Karangan Drs. Anas Yusuf (Ketua PC NU Pergantian Antar Waktu (PAW) tahun 2007.

“Selamat Harlah NU, Semoga tetap menjadi garda terdepan untuk perdamaian di NKRI dan Dunia”

Penulis : Syafik

Editor : Sujatmiko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *