Bojonegoro, damarinfo.com – Debat kedua Pilkada Bojonegoro di Hotel Eastern, Jalan Veteran, Minggu malam, menjadi panggung bagi kedua pasangan calon untuk saling mengkritik program unggulan masing-masing. Bojonegoro Klunting milik paslon nomor urut 1 (Teguh Haryono – Farida Hidayati) dan Sapa Bupati dari paslon nomor urut 2 (Setyo Wahono – Nurul Azizah) menjadi sorotan utama dalam adu argumen tajam yang berlangsung di hadapan audiens terbatas.
Paslon nomor urut 2 memulai kritik dengan mempertanyakan dasar hukum program Bojonegoro Klunting, yang dijanjikan paslon nomor urut 1 untuk mendistribusikan kekayaan migas secara langsung kepada masyarakat.
“Program apa pun harus berdasarkan regulasi yang jelas. Jika tidak, itu hanya akan menjadi janji populis yang tidak memiliki dasar hukum. Permendagri No. 77 Tahun 2020 sudah mengatur mekanisme hibah dan bantuan sosial, sehingga program ini perlu dikaji lebih matang,” tegas Setyo Wahono.
Nurul Azizah menambahkan, “Masyarakat Bojonegoro berhak mendapatkan program yang realistis dan akuntabel. Jangan sampai janji besar ini hanya menjadi pemberian harapan palsu yang sulit diwujudkan.”
Menanggapi kritik ini, Teguh Haryono dengan tegas membela program Bojonegoro Klunting. Ia menjelaskan bahwa program tersebut adalah upaya transformasi ekonomi untuk memastikan kekayaan migas digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
“Sebagai pemimpin transformatif, kami tidak hanya menjalankan hal yang biasa. Regulasi tentu akan kami patuhi, dan kami akan berkonsultasi dengan masyarakat serta DPRD untuk memastikan program ini berjalan sesuai aturan,” ujar Teguh.
Farida Hidayati menambahkan, “Bojonegoro Klunting bukan hanya janji, tetapi solusi nyata untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. Kami yakin program ini akan membawa dampak besar bagi ekonomi lokal.”
Di sisi lain, paslon nomor urut 1 balik menyerang dengan mengkritisi program Sapa Bupati yang diusung paslon nomor urut 2. Farida Hidayati menilai pendekatan tersebut terlalu bergantung pada aplikasi digital tanpa memberikan kehadiran nyata di lapangan.
“Kami lebih memilih turun langsung ke desa dan kecamatan setiap minggu untuk mendengarkan keluhan masyarakat secara langsung, bukan hanya mengandalkan teknologi atau dialog di pendopo,” ujar Farida.
Setyo Wahono menanggapi dengan menjelaskan bahwa Sapa Bupati adalah program kombinasi yang mencakup dialog langsung dan digitalisasi.
“Program ini memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi kapan saja melalui aplikasi, tetapi kami juga akan rutin berkunjung ke desa-desa dan pendopo untuk mendengarkan secara langsung,” jelas Setyo.
Selain itu, paslon nomor urut 2 juga memberikan kritik terhadap rencana paslon nomor urut 1 untuk menugaskan satu insinyur pertanian di setiap 10 desa. Menurut mereka, pendekatan ini tidak cukup untuk menyelesaikan masalah tata niaga pertanian.
“Dalam konteks tata niaga dan pemasaran hasil pertanian, peran insinyur saja tidak cukup. Dibutuhkan kolaborasi dengan ahli pemasaran dan strategi lain untuk memastikan keberlanjutan ekonomi petani,” ujar Nurul Azizah.
Teguh Haryono membela rencananya dengan menyatakan bahwa insinyur pertanian akan membantu petani menghadapi tantangan teknis, terutama terkait perubahan iklim dan teknologi.
“Kami percaya masalah pertanian tidak selesai hanya dengan pemasaran. Insinyur pertanian akan menjadi pendamping bagi petani untuk mengelola lahan secara lebih efektif dan mengadopsi teknologi modern,” katanya.
Paslon nomor urut 1 juga mengkritik paslon nomor urut 2 yang dinilai kurang memiliki visi kepemimpinan transformatif.
“Pemimpin tidak boleh hanya melihat jalan yang sudah ada, tetapi harus berani menciptakan jalan baru. Pemimpin transformatif harus mampu membawa perubahan besar bagi Bojonegoro,” ujar Teguh Haryono.
Setyo Wahono menanggapi kritik ini dengan menegaskan bahwa pemimpin transformatif bukan hanya tentang terobosan besar, tetapi juga memastikan konsistensi dan kesinambungan dalam tata kelola pemerintahan.
“Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang perubahan besar, tetapi juga yang mampu memastikan pembangunan berjalan dengan baik dan berkelanjutan,” tandasnya.
Debat kedua ini menunjukkan ketegangan yang meningkat antara kedua paslon, dengan kritik dan jawaban yang semakin tajam. Bojonegoro Klunting dan Sapa Bupati menjadi pusat perdebatan yang mencerminkan perbedaan filosofi dan pendekatan kedua paslon. Dengan Pilkada yang tinggal beberapa hari lagi, warga Bojonegoro dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan arah pembangunan Bojonegoro lima tahun ke depan.
Penulis : Tim