Hari Bersejarah di Bumi Bodjonegoro
Pada Hari Sabtu pagi cerah di tahun 1930, tepatnya 26 April, sebuah peristiwa penting terjadi di pedalaman Jawa Timur. Di Desa Soekosewoe, tidak jauh dari Bodjonegoro, sebuah bendungan megah diresmikan: Bendungan Soekosewoe, yang kini dikenal sebagai Dam Klepek.
Ini bukan sekadar proyek infrastruktur biasa — melainkan bagian dari proyek besar bernama Solovalleiwerken, yang dirancang pemerintah kolonial Belanda untuk menyulap kawasan kering menjadi sawah subur.
Proyek Raksasa di Tengah Persawahan dan Perbukitan
Bendungan Soekosewoe dibangun sebagai elemen penting dari sistem irigasi Waduk Patjal, anak Sungai Bengawan Solo yang mengalir sepanjang 400 kilometer dari Jawa Tengah ke timur laut Jawa. Tujuannya jelas: menyuplai air secara reguler untuk lahan pertanian yang rawan kekeringan dan banjir.
Dengan kapasitas tampung hingga 50 juta meter kubik, Waduk Patjal dirancang sebagai penyeimbang alam: mengairi sawah saat kemarau dan mengendalikan banjir saat hujan. Bendungan Soekosewoe berdiri kokoh 18 km di utara waduk utama, dengan dua saluran besar yang menyalurkan air ke lebih dari 20.000 bouw — atau sekitar 14.000 hektare sawah (1 bouw ≈ 0,7 hektare).
Inovasi Teknis dan Efisiensi Pembangunan
Membangun bendungan di medan pedesaan yang kala itu belum tersentuh teknologi modern tentu bukan hal mudah. Namun, dengan perencanaan matang dan pengelolaan yang ketat, proyek ini tuntas lebih cepat dan bahkan lebih hemat dari perkiraan: dari anggaran awal f400.000 gulden menjadi hanya f350.000 gulden.
Arsitek pelaksana J.M.G. Vogelsang mendapat apresiasi atas kecakapannya. Ia menerapkan teknik coupure, yakni pembuatan kanal lurus untuk menghindari aliran sungai langsung saat pembangunan — cara yang membuat pekerjaan lebih aman dan efisien.
Firma lokal Tan & Liem dari Surabaya juga dipuji karena melibatkan banyak tenaga kerja lokal, memberikan kesempatan ekonomi bagi warga yang sebelumnya hidup dalam keterbatasan.
Upacara Sakral dan Kemeriahan Rakyat
Tak hanya soal teknik, peresmian bendungan ini juga menjadi peristiwa budaya. Acara dibuka dengan sambutan dari Ir. J.W.F.C. Proper, kepala proyek Solovalleiwerken, yang menjelaskan manfaat jangka panjang bendungan bagi pertanian lokal.
Namun yang lebih menggugah adalah ritual slametan di atas bendungan: doa-doa dilantunkan, kepala kerbau dikubur sebagai simbol syukur dan keselamatan. Suasana semakin semarak saat anak-anak menari, gamelan berdentang, dan Reog Ponorogo tampil memukau. Bahkan, sampanye dan kembang api menandai euforia rakyat menyambut era baru pertanian di bumi Jawa.
Kata Bijak dari Sang Bupati: “Ini Investasi untuk Kemakmuran”
Dalam pidatonya, Bupati Bodjonegoro menyebut proyek ini sebagai investasi besar dari pemerintah Hindia Belanda untuk masa depan rakyat. Ia berkata:
“Pemerintah rela menghabiskan jutaan gulden demi masa depan pertanian kita. Setiap tetes air dari bendungan ini adalah harapan baru bagi petani.”
Ia juga menyebut bahwa pemerintah mengalokasikan f150 per bouw untuk pengembangan sistem irigasi di wilayah Patjal — jumlah yang sangat besar pada masa itu.
Warisan Abadi yang Masih Mengalir
Peresmian Bendungan Soekosewoe (Dam Klepek) pada tahun 1930 menjadi tonggak penting dalam sejarah pertanian Indonesia. Meskipun dibangun pada masa kolonial, manfaatnya masih nyata hingga kini. Dam Klepek masih berfungsi dengan baik, dan tetap mengairi ribuan hektare sawah di Bojonegoro — menjadi tulang punggung pertanian di wilayah utara kabupaten.
Proyek ini membuktikan bahwa infrastruktur yang dirancang matang dan melibatkan masyarakat lokal dapat meninggalkan warisan yang kuat, baik secara fisik maupun sosial. Sebuah kisah air dan tanah, yang terus mengalir hingga hari ini.
Penulis : Syafik
Sumber : Koran Soerabaijasch handelsblad edisi 28-4-1930, diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan chat.qwen.ai