Curah Hujan Bodjonegoro 1881: Jejak Kolonial dalam Data Iklim Jawa

oleh 119 Dilihat
oleh
Ilustrasi Masa Kolonial
(ilustrasi by chatgpt.com)

damarinfo.com – Pada tahun 1881, di tengah pergulatan kolonial di tanah Jawa, seorang Asisten Residen Belanda bernama J. Mullemeister memulai proyek pengukuran cuaca yang ambisius. Ia menyebarkan 18 alat pengukur hujan di berbagai penjuru Bodjonegoro—wilayah strategis di pesisir Bengawan. Tujuannya tampak sederhana: mencari tahu seberapa besar pengaruh curah hujan terhadap tanaman pangan lokal seperti djanong-kulluur. Namun seiring waktu, data yang ia kumpulkan justru membuka lembaran penting tentang iklim, kuasa, dan ketimpangan yang tersembunyi di balik deretan angka.

Ketika Hujan Dicatat, Tapi Kuasa Tak Terbagi

Bagi Belanda, tanah Jawa adalah ladang investasi. Dengan memahami curah hujan, mereka berharap dapat memetakan potensi panen, menghindari gagal tanam, dan mengatur sistem pajak secara lebih presisi. Tapi pengukuran itu bukan kerja ilmuwan—melainkan tugas paksa para Wedono dan pejabat lokal, yang harus mencatat hujan setiap hari dengan alat yang tak selalu akurat. Beberapa alat pengukur hanya berupa silinder kayu dengan corong, dan hasil hujan diukur dengan wadah kecil, lalu dikalikan 10 agar mendekati akurasi. Dr. Bergsma, seorang ahli Belanda, bahkan menyebut alat-alat ini sebagai “kreatif tapi penuh risiko”—mudah rusak, mudah menguap.

Namun, justru dari alat sederhana itulah, muncul catatan iklim paling tua di Bojonegoro. Catatan yang—meski dibentuk dalam konteks penjajahan—menjadi sumber sejarah iklim yang tak ternilai hari ini.

Baca Juga :   Poeloeng dari Langit: Kisah Pemilihan Lurah Kaoeman 1939

Angka-angka yang Menyimpan Cerita

Dari catatan lengkap yang tersisa, muncul gambaran mencengangkan:

  • Temajang mencatat curah hujan 598 mm pada Maret 1881—angka tertinggi sepanjang tahun itu. Ini setara dengan dua bulan hujan di Jakarta masa kini.

  • Kepoh Kidoel, wilayah lain di pesisir Bengawan, mencatat jumlah serupa: 598 mm pada Februari.

  • Sebaliknya, di Padangan, hujan nol milimeter tercatat selama Juli hingga September, membuat wilayah ini tiga bulan tanpa hujan.

Perbedaan ekstrem dalam satu kabupaten menunjukkan bahwa bahkan pada abad ke-19, iklim mikro di Bojonegoro sudah sangat variatif.

Di Ngambon, data Januari–April hilang, namun pada Desember, hujan mencapai 574 mm. Kemungkinan besar, kawasan ini mengalami banjir kecil meski wilayah sebelahnya kering kerontang. Dander bahkan mencatat keanehan: 506 mm hujan turun di bulan Juni, yang lazimnya musim kering. Apakah ini efek topografi, atau kesalahan alat?

Beberapa wilayah menunjukkan tingkat curah hujan tahunan tertinggi, seperti:

  • Kedoengadem: 2.099 mm

  • Padangan: 1.919 mm

  • Pelem: 1.972 mm

Sementara wilayah seperti Toeloeng dan Ngambon menyumbangkan data parsial, memperlihatkan tantangan administratif dan logistik yang dihadapi petugas lokal.

(Tangkapan Layar bagian dari jurnal “Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, 1883, 01-01-1883.)

Sains Kolonial dan Warisan Tak Terduga

Ironisnya, semua kerja pencatatan ini tidak dimaksudkan untuk menyelamatkan rakyat Jawa. Tujuannya adalah agar Belanda bisa mengoptimalkan pajak dan panen. Wedono mencatat hujan, tapi hasil bumi tetap mengalir ke negeri jauh di seberang lautan.

Baca Juga :   Minyak Ajaib dari Celah Batu: Catatan Perjalanan Praetorius di Distrik Tinawoen Radjekwesi (1827)

Namun, dari kerja paksa itu, lahirlah warisan yang tak ternilai: rekaman iklim yang kini bisa digunakan ilmuwan modern untuk membaca pola musim dalam 140 tahun terakhir. Bahkan para petani masa kini bisa belajar: jika Temajang pernah diguyur hujan 598 mm pada Maret, mungkinkah pola tanam serupa layak diuji untuk adaptasi iklim hari ini?

Alam yang Tak Bisa Ditundukkan

Data curah hujan Bodjonegoro 1881 mengajarkan bahwa alam tidak bisa sepenuhnya dikuasai. Belanda boleh saja membuat tabel dan peta, tapi kenyataan di lapangan—dari banjir tak terduga di Dander hingga kemarau membatu di Padangan—membuktikan bahwa alam Jawa memiliki kehendaknya sendiri.

Hari ini, kita bisa melihat tabel itu sebagai lebih dari sekadar angka. Ia adalah saksi bisu penjajahan, sekaligus jendela menuju masa depan. Dari angka, lahir kesadaran: bahwa sejarah, iklim, dan keadilan selalu berkait erat—dan tidak selamanya bisa dikendalikan dari balik meja kekuasaan.

Penulis : Syafik

Sumber : (Jurnal “Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, 1883, 01-01-1883, Deel: XLII, diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan chat.deepseek.com)