damarinfo.com – Menteri Agama Prof. Nasaruddin umar malam ini Sabtu 29-Maret-2025, menyampaikan pengumuman bahwa 1 Syawal 1466 H/2025 M jatuh pada tanggal 31 Maret 2025. Masyarakat dapat menyaksikannya secara langsung melalui televisi atau media sosial seperti youtube sehingga mendapatkan informasi real time. Lalu bagaimana masyarakat jaman dahulu mendapatkan informasi tentang awal puasa dan awal syawal dengan teknologi yang sangat terbatas?
Pada era digital saat ini, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia diumumkan secara resmi oleh pemerintah melalui sidang isbat yang bisa disaksikan langsung di televisi dan media sosial. Namun, di masa kolonial Belanda, proses pemantauan hilal dan pengumumannya dilakukan dengan cara yang jauh berbeda. Tanpa teleskop atau teknologi canggih, penghulu masjid menaiki menara untuk mengamati hilal secara langsung. Setelah memastikan matahari terbenam dan hilal terlihat, pengumuman dilakukan dengan menyalakan meriam atau menabuh beduk.
Dalam surat kabar berbahasa Belanda Soerabaijasch Handelsblad edisi 26 Oktober 1938, disebutkan bahwa pemantauan hilal dilakukan di masjid dengan menaiki menara. Setelah hilal terlihat, tanda dimulainya bulan Ramadhan diumumkan dengan menyalakan meriam. Ledakan ini menjadi penanda bagi umat Islam untuk memulai ibadah puasa, sekaligus bagian dari tradisi yang telah mengakar di masyarakat. Selain itu, beduk dan kentongan di masjid-masjid dan langgar juga ditabuh sebagai penguat pengumuman.
Selama bulan puasa, masyarakat menjalankan ibadah dengan disiplin. Mereka menahan diri dari makan, minum, dan merokok sejak fajar hingga senja. Suara beduk kembali menggema setiap magrib, menandakan waktu berbuka. Tradisi ini dilakukan secara konsisten di seluruh Jawa, baik di desa maupun kota.
Menjelang akhir Ramadhan, pemantauan hilal kembali dilakukan untuk menentukan awal Idul Fitri. Proses ini mirip dengan awal bulan puasa: penghulu utama dengan khidmat menantikan terbenamnya matahari dari menara masjid. Jika hilal terlihat, pengumuman dilakukan dengan ledakan meriam dan suara beduk yang ditabuh bertalu-talu oleh para pemuda di sekitar masjid.

Pada malam terakhir bulan puasa, masyarakat bersiap menyambut Idul Fitri. Pedagang kain, perhiasan, dan makanan berdatangan ke desa-desa, sementara para penjahit bekerja keras karena meningkatnya permintaan pakaian baru. Suasana menjadi lebih ramai dengan berbagai persiapan dan doa di masjid.
Saat fajar Idul Fitri tiba, masyarakat berduyun-duyun menuju masjid untuk melaksanakan salat Id. Para pemuka agama dan pejabat kolonial, seperti bupati dan patih, turut serta dalam prosesi keagamaan ini. Di beberapa daerah, perayaan semakin meriah dengan diadakannya Garebeg Puasa, di mana masyarakat berkumpul untuk merayakan hari kemenangan dengan berbagai acara tradisional.
Setelah salat Id, masyarakat saling mengunjungi untuk memberikan ucapan selamat kepada keluarga serta kerabat. Suara beduk dan kentongan terus bertalu sepanjang hari sebagai simbol kebahagiaan. Meski berada di bawah pemerintahan kolonial, umat Islam di Jawa tetap mempertahankan tradisi Ramadhan dan Idul Fitri ini sebagai bentuk identitas dan kebersamaan dalam menyambut bulan suci dan hari raya.
(Disclaimer : Terjemahan dari sumber aslinya menggunakan bantuan chatgpt.com, sehingga akurasinya tidak bisa dijamin 100 %)
Penulis : Syafik
Sumber : Soerabaijasch Handelsblad edisi 26 Oktober 1938, (diunduh dari laman delpher.nl, Sabtu, 29-Maret-2025)