damarinfo.com – Bayangkan petani di Bojonegoro, berjalan di pematang sawah, menabur harapan di setiap bulir padi. Namun, pada 2024, produktivitas padi Bojonegoro hanya mencapai 5,42 ton/ha, kalah dari Ngawi (6,22 ton/ha), Tuban (6,21 ton/ha), Lamongan (5,94 ton/ha), dan Nganjuk (5,81 ton/ha).
Jawa Timur, jantung padi Indonesia, mencatat produksi padi 9,27 juta ton GKG dari luas panen 1,62 juta hektare, dengan produktivitas padi rata-rata 5,73 ton/ha, turun dari 5,78 ton/ha pada 2023.
Jawa Timur: Lumbung Padi yang Terhuyung
Jawa Timur adalah tulang punggung padi nasional, tetapi fondasinya goyah. Pada 2024, luas panen turun 4,78% menjadi 1,62 juta hektare, menghasilkan produksi padi 9,27 juta ton GKG, setara 5,35 juta ton beras. Produktivitas padi rata-rata 5,73 ton/ha menunjukkan stagnasi, dengan puncak di Januari (5,88 ton/ha) dan luas panen terbesar di April (369.218,41 ha, 2,14 juta ton GKG). Penurunan luas panen dan dampak El Niño pada Januari–April menjadi penutup cerita kelam ini. Namun, di tengah tantangan, Bojonegoro menawarkan stabilitas yang patut diselami, meski dengan produktivitas yang mengecewakan.
Membaca Cerita dari Angka
Produktivitas padi dihitung dengan rumus sederhana: Produksi Padi (ton GKG) ÷ Luas Panen (ha). Data BPS Jawa Timur per 26 Mei 2025 menjadi lentera analisis, membandingkan Jawa Timur, Bojonegoro, dan tetangganya: Lamongan, Ngawi, Nganjuk, dan Tuban. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka mencerminkan keringat petani, cuaca yang tak menentu, dan kebijakan yang menentukan nasib padi.
Bojonegoro: Stabilitas yang Belum Cukup
Di Bojonegoro, sawah adalah denyut kehidupan. Pada 2024, kabupaten ini memanen 710.527,18 ton GKG dari luas panen 131.220,56 hektare, menghasilkan produktivitas padi 5,42 ton/ha. Stabil, dengan puncak di Desember (6,32 ton/ha, 17.375,04 ton GKG ÷ 2.748,83 ha), Februari (5,79 ton/ha), dan April (5,75 ton/ha, 179.810,36 ton GKG dari 31.243,42 ha). Bendungan Gerak menjaga irigasi, dan benih unggul membantu, tetapi 5,42 ton/ha menempatkan Bojonegoro di posisi terendah dibandingkan tetangganya. Stabilitasnya seperti pelari yang konsisten, tetapi langkahnya terlalu pendek untuk bersaing dengan Ngawi atau Tuban.

Grafik ini menunjukkan Ngawi dan Tuban memimpin, sementara Bojonegoro berada di posisi terendah, menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk perbaikan.
Tetangga Bojonegoro: Pelajaran dari Efisiensi
Sementara Bojonegoro berjalan mantap, tetangganya melesat di produktivitas:
- Ngawi: Memimpin dengan produktivitas padi 6,22 ton/ha (765.703,53 ton GKG dari 123.075,68 ha), puncak di Juli (6,24 ton/ha). Luas panen besar dan teknologi modern menjadi kunci.
- Tuban: Produktivitas 6,21 ton/ha (523.067,49 ton GKG dari 84.211,69 ha), dengan puncak di September (7,36 ton/ha). Fluktuasi di Desember menunjukkan tantangan musiman.
- Lamongan: Produktivitas 5,94 ton/ha (776.290,66 ton GKG dari 130.670,42 ha), kuat di Maret (6,19 ton/ha), tetapi bergantung pada musim panen utama.
- Nganjuk: Produktivitas 5,81 ton/ha (404.975,09 ton GKG dari 69.685,57 ha), puncak di Maret (6,20 ton/ha). Luas panen kecil membatasi produksi.
Bojonegoro kalah dalam efisiensi per hektare, meski unggul dalam konsistensi musiman.
Akar Masalah: Mengapa Bojonegoro Tertinggal?
Data BPS Jawa Timur dan laporan terverifikasi mengungkap kelemahan Bojonegoro:
- Penurunan Luas Panen: Luas panen Bojonegoro (131.220,56 ha) turun sekitar 2,5% dari 2023 (estimasi berdasarkan tren provinsi 4,78%), kemungkinan akibat konversi lahan di wilayah pinggiran, meskipun data spesifik terbatas.
- Fluktuasi Musiman: Produktivitas bervariasi, dari 6,32 ton/ha di Desember hingga 5,75 ton/ha di April, menunjukkan ketergantungan pada musim panen utama, dipengaruhi El Niño pada Januari–April 2024.
Angka-angka ini menggambarkan Bojonegoro sebagai kabupaten yang stabil namun terhambat oleh lahan yang menyusut dan tantangan musiman.
Bojonegoro Harus Melangkah Cepat
Bojonegoro menawarkan stabilitas di 5,42 ton/ha, tetapi tertinggal dari Ngawi, Tuban, Lamongan, dan Nganjuk. Jawa Timur, sebagai lumbung padi nasional, membutuhkan Bojonegoro yang lebih produktif. Petani telah berjuang di sawah; kini saatnya kebijakan dan teknologi mendorong mereka mengejar Ngawi. Dengan data sebagai panduan, Bojonegoro bisa mengubah sawahnya menjadi lumbung yang lebih kuat untuk ketahanan pangan.
Penulis : Syafik
Sumber: BPS Jawa Timur, 26 Mei 2025;