Migas Berlimpah, Pekerjaan Tak Melimpah: Paradoks Pengangguran di Bojonegoro dan Daerah Migas

oleh 253 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by chatgpt)

Kaya Sumber Daya, Belum Kaya Kesejahteraan

Jika menelusuri data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 2024 di Indonesia, tampak jelas pola yang menggelitik: daerah penghasil migas rata-rata memiliki angka pengangguran lebih tinggi dibanding daerah non-penghasil.

Di Sumatra, Rokan Hilir dan Dumai yang menjadi penopang minyak nasional justru bergulat dengan TPT di atas rata-rata. Sementara daerah non-migas seperti Simalungun atau Kota Binjai bisa menjaga angka pengangguran lebih rendah.

Kalimantan pun memantulkan cermin yang sama. Balikpapan dan Kutai Kartanegara mencatat TPT di kisaran menengah ke atas, sementara kabupaten non-migas seperti Kapuas atau Lamandau berhasil menekan pengangguran.

Jika dihitung rata-rata, TPT daerah penghasil migas nasional berkisar 4,2–4,5%, sedangkan non-penghasil 3,3–3,5%. Selisih hampir satu poin ini bukan sekadar angka, melainkan ribuan orang yang seharusnya bisa bekerja tetapi belum terserap di daerah kaya energi.

Fenomena ini menegaskan paradoks lama: sumber daya alam melimpah, tapi kesejahteraan tenaga kerja tidak otomatis ikut melimpah.

(Infografis by chatgpt)

Jawa Timur: Cermin yang Lebih Jernih

Ketika menyorot ke Jawa Timur, gambaran itu terlihat lebih kontras. Daerah non-penghasil migas seperti Pamekasan (1,64%), Pacitan (1,56%), dan Ngawi (2,40%) menikmati tingkat pengangguran yang sangat rendah. Bahkan, angka ini mendekati kondisi lapangan kerja ideal.

Sebaliknya, beberapa daerah penghasil migas justru masih menghadapi tantangan. Sidoarjo (6,49%) dan Gresik (6,45%) berada di level tinggi. Sementara Bojonegoro, salah satu lumbung migas nasional, mencatat TPT 4,42%. Angka ini memang tidak setinggi Sidoarjo atau Gresik, tetapi jelas lebih tinggi daripada banyak tetangga non-migasnya.

Baca Juga :   PC Fatayat NU Gelar Pelatihan Timlak Program Patra Daya EMCL

Ibarat dua petani yang berdiri bersebelahan: satu dengan lumbung padi melimpah tapi kesulitan memberi makan keluarganya, sementara yang lain dengan lahan terbatas justru mampu hidup lebih tenang.

Bojonegoro: Kaya Migas, Pekerjaan Tak Sekaya Harapan

Bojonegoro sudah lama dikenal sebagai jantung migas Jawa. Dari ladang minyak Blok Cepu hingga proyek-proyek eksplorasi baru, kabupaten ini menyumbang energi besar bagi negeri. Namun, kontribusi tersebut tidak selalu tercermin dalam kesejahteraan warganya.

Dengan TPT 4,42% pada 2024, Bojonegoro menempati urutan ke-25 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Jika diperluas ke konteks nasional, posisinya berada di urutan ke-37 di antara daerah penghasil migas.

Artinya, meski berada di “tanah emas hitam”, banyak warga Bojonegoro yang masih mencari tempat di pasar kerja. Migas yang keluar dari perut bumi seakan tidak sepenuhnya mengalir menjadi peluang kerja nyata.

Membandingkan Tetangga: Lamongan, Nganjuk, dan Ngawi

Kontras makin terasa ketika Bojonegoro disejajarkan dengan tetangganya yang bukan penghasil migas.

  • Lamongan mencatat TPT 4,34%, sedikit lebih baik dari Bojonegoro.

  • Nganjuk bahkan lebih rendah, hanya 3,87%.

  • Ngawi jadi juara di kawasan ini, dengan TPT 2,40% saja.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa daerah dengan basis ekonomi pertanian, perdagangan, dan jasa justru lebih mampu menekan pengangguran dibanding daerah dengan sektor migas yang besar.

Baca Juga :   Surat Redaksi Peluang Pendapatan dari Migas Melayang. Karena Kedunguan?

Seakan ada ironi di sini: Lamongan, Nganjuk, dan Ngawi mengandalkan sawah, pasar, dan pabrik kecil, tapi Bojonegoro yang punya ladang minyak kelas dunia malah belum bisa mengubah kekayaan itu menjadi lapangan kerja luas.

Paradoks Migas: Kutukan atau Kebijakan?

Fenomena ini sering disebut sebagai resource curse atau kutukan sumber daya alam. Daerah kaya sumber daya cenderung bergantung pada sektor ekstraktif, yang padat modal tapi minim tenaga kerja. Akibatnya, roda ekonomi lokal tidak berputar sekuat daerah dengan basis sektor padat karya.

Namun, apakah ini murni “kutukan”? Tidak selalu. Banyak faktor kebijakan yang memengaruhi: mulai dari tata kelola Dana Bagi Hasil Migas, investasi di sektor riil, hingga kesiapan sumber daya manusia lokal.

Bojonegoro, dengan segala potensi migasnya, punya pekerjaan rumah besar: bagaimana mengubah kekayaan bumi menjadi kekayaan manusia.

Harapan yang Perlu Ditambang

Angka pengangguran hanyalah satu sisi dari cerita besar. Tapi ia adalah alarm penting. Bojonegoro tidak bisa selamanya bangga sebagai lumbung migas jika warganya masih kesulitan mendapat pekerjaan.

Daerah tetangga sudah memberi contoh bahwa tanpa migas pun, ekonomi bisa tumbuh dan pengangguran ditekan. Pertanyaannya: kapan Bojonegoro bisa membalik paradoks ini—dari sekadar kaya sumber daya menjadi kaya lapangan kerja?

Penulis : Syafik

Sumber data : Daerah Penghasil Migas : Kepmen ESDM No 214 K/82/MEM/2020, Data TPT  diunduh dari laman Siperindu