damarinfo.com – Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur dan digitalisasi, kemampuan membaca dan menulis tetap menjadi fondasi yang tak tergantikan. Namun, tak semua daerah di Jawa Timur mampu menjaga pondasi ini dengan kokoh. Angka Melek Huruf (AMH) menjadi salah satu indikator sederhana namun penting untuk melihat keefektifan pendidikan dasar dan arah pembangunan manusia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di provinsi ini telah mencapai 93,90% pada tahun 2024. Ini artinya, dari setiap 100 orang dewasa, sekitar 6 orang masih belum bisa membaca dan menulis kalimat sederhana. Jika dibawa ke konteks nyata, angka ini bukan sekadar statistik, tapi gambaran dari siapa yang bisa ikut serta dalam kehidupan sosial-ekonomi, dan siapa yang tertinggal di pinggiran.
Jawa Timur: Maju Tapi Belum Merata
Secara umum, Jawa Timur mengalami peningkatan melek huruf yang konsisten sejak tahun 2002. Namun, kesenjangan antarwilayah masih lebar. Kota-kota seperti Surabaya, Madiun, dan Mojokerto telah menembus angka 97–98%, sementara banyak kabupaten lain masih berada di bawah angka provinsi.
Inilah yang membuat AMH bukan hanya soal pendidikan, tapi juga cermin dari ketimpangan struktural. Daerah yang urban dan relatif sejahtera punya peluang lebih besar untuk mencetak penduduk yang melek huruf. Sebaliknya, wilayah agraris, pesisir, dan terpencil sering kali terjebak dalam lingkaran kurangnya akses, rendahnya kualitas pendidikan dasar, dan kemiskinan yang berulang.
Bojonegoro: Jalan, Tapi Belum Sampai
Kabupaten Bojonegoro berada pada posisi yang tidak terlalu buruk, tapi juga jauh dari ideal. Pada tahun 2024, angka melek huruf Bojonegoro tercatat 92,50%, menempatkannya di peringkat ke-28 dari 38 kabupaten/kota se-Jawa Timur. Angka ini di bawah rata-rata provinsi, yang menunjukkan bahwa Bojonegoro masih tertinggal, meski sudah mengalami peningkatan dari masa lalu.
Jika kita menengok ke tahun 2002, AMH Bojonegoro masih di angka 77%. Artinya, dalam dua dekade, terjadi peningkatan 15,5 poin. Ini tentu menunjukkan kemajuan, tetapi tetap tidak cukup untuk menyamai laju tetangganya.
Bojonegoro vs Kabupaten Tetangga
Mari kita bandingkan capaian Bojonegoro dengan beberapa tetangganya:
-
Lamongan: dari 83,1% (2002) ke 94,3% (2024). Lebih tinggi dari provinsi dan terus stabil meningkat.
-
Tuban: dari 76,9% ke 94,16%. Naik lebih dari 17 poin, lebih tinggi dari Bojonegoro meskipun start-nya lebih rendah.
-
Ngawi: dari 78,3% ke 91,96%. Selisihnya tipis dengan Bojonegoro, tapi tetap menunjukkan progres positif.
-
Nganjuk: dari 84,4% ke 93,76%, dan meski peningkatannya tidak tajam, posisinya tetap lebih unggul dari Bojonegoro.
Tafsirnya jelas: Bojonegoro gagal mengejar momentum. Kabupaten ini memang melangkah maju, namun tetangga-tetangganya melompat lebih jauh lebih cepat.
Mengapa Melek Huruf Penting?
Angka melek huruf bukan sekadar ukuran bisa baca-tulis. Ini adalah gerbang awal bagi seseorang untuk bisa berpartisipasi aktif dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial. Orang dewasa yang tidak melek huruf akan kesulitan mengakses informasi kesehatan, membaca instruksi kerja, memahami kontrak, bahkan sekadar membaca label obat.
BPS menyebut bahwa AMH juga mencerminkan hasil pendidikan dasar 10 tahun terakhir. Maka ketika sebuah daerah memiliki AMH rendah, itu bukan hanya soal masa lalu, tetapi indikasi bahwa sistem pendidikan dasar saat ini masih belum efektif.
Saatnya Bojonegoro Menyalakan Alarm Literasi
Dengan capaian 92,5%, Bojonegoro masih punya PR besar dalam membangun manusia. Pemerintah daerah harus mulai menyasar literasi bukan hanya lewat sekolah, tapi juga pendekatan berbasis komunitas: taman bacaan desa, pelatihan baca tulis untuk orang dewasa, dan insentif bagi keluarga untuk menyekolahkan anak-anak hingga jenjang minimal.
Literasi adalah soal daya hidup. Daerah yang tidak punya penduduk melek huruf akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan zaman, sulit mengelola potensi ekonomi lokal, bahkan rentan terhadap manipulasi informasi.
Dari Statistik ke Aksi
Bojonegoro bisa mengejar ketertinggalan, tapi hanya jika literasi ditempatkan sebagai fondasi pembangunan manusia. Angka melek huruf tidak boleh berhenti di kertas laporan. Ia harus berubah menjadi gerakan sosial, menjadi prioritas kebijakan, menjadi percakapan harian di forum warga.
Karena ketika seseorang belajar membaca, ia tak hanya membuka buku. Ia membuka dunia.
Penulis : Syafik
Sumber data : BPS Jawa Timur