damarinfo.com – Bayangkan Bojonegoro di tahun 1933. Jalanan berdebu di tengah hutan jati berderit ditempuh kereta kuda, membawa pejabat Belanda dengan topi tropis dan seragam putih yang mulai lusuh. Di pasar, aroma kelapa bakar bercampur teriakan pedagang Jawa menjajakan beras. Sementara itu, di kantor residen, di bawah lampu minyak, peta-peta digelar di meja kayu, menggambarkan ambisi besar: menaklukkan Sungai Solo untuk menjadikan Keresidenan Bojonegoro lumbung pangan Hindia Belanda.
Pada 19 Januari 1933, Soerabaijasch Handelsblad menerbitkan tulisan penuh semangat oleh redaktur Van Onzen, berjudul “Apa yang Bisa dan Harus Dilakukan untuk Keresidenan Bojonegoro.” Meski sebagai penjajah, Belanda menunjukkan kepedulian luar biasa pada pertanian Bojonegoro, dengan rencana irigasi dan waduk untuk menjamin ketahanan pangan. Ironisnya, hari ini, Pemkab Bojonegoro dengan APBD melimpah justru terlihat tak serius mewujudkan mimpi serupa.
Alam yang Sulit, Ambisi yang Membara
Bojonegoro adalah tanah penuh tantangan. Tanah lempung mengeras di bawah matahari, rawa-rawa menjebak kaki, dan bukit tandus menolak ditanami. Petani Jawa berjuang dengan cangkul, berharap hujan yang sering tak datang. Sungai Solo, yang diimpikan sebagai sumber kehidupan, malah jadi musuh. Soerabaijasch Handelsblad mencatat, di musim kemarau, airnya cuma 3 meter kubik per detik—jauh di bawah Sungai Brantas yang mengalir 20 meter kubik. Di musim hujan, sungai ini mengamuk, menghancurkan tanggul tanah liat dan membanjiri sawah.
Namun, Belanda, meski datang sebagai penjajah, tak menyerah. Mereka melihat Sungai Solo bukan hanya ancaman, tetapi peluang untuk membangun irigasi yang akan mengubah lahan kering jadi sawah subur.
Irigasi: Warisan Belanda untuk Pangan
Dengan alat ukur sederhana dan peta kertas yang mulai usang, insinyur Belanda bekerja keras. Mereka bertaruh pada irigasi, dan hasilnya nyata:
- Waduk Pacal menghidupkan 23.000 bouw (±16.370 ha), mengubah tanah gersang jadi ladang padi hijau berkilau.
- Waduk Prijetan mengairi 6.400 bouw, menghasilkan dua panen penuh dan satu panen tambahan setara 15.000 bouw per tahun.
- Di Dander, Pirang, dan Kali Kening, lahan yang dulu tak berguna kini menghijau.
Di pinggir sawah, penyuluh Belanda dengan logat kaku berbagi ilmu tanam baru di bawah pohon kelapa. Petani Jawa, sembari memegang sabun cuci dari sungai, mendengarkan penuh harap. Ini adalah kerja sama yang disebut “segitiga emas” kolonial: pejabat, insinyur, dan penyuluh yang bersatu demi pertanian Bojonegoro.
Waduk Kerdjo-Tjawak: Visi Jauh ke Depan
Tak berhenti di situ, Van Onzen mengusulkan Waduk Kerdjo-Tjawak di pegunungan kapur utara. Dengan kapasitas 50 juta meter kubik air, waduk ini diimpikan bisa mengairi 25.000 bouw di musim kemarau. Airnya disaring dari natrium sulfat—zat berbahaya yang mengeraskan tanah—menjadikannya aman untuk irigasi.
Di era ketika teknologi hanya sebatas pompa uap dan kanal sederhana, visi ini menunjukkan betapa seriusnya Belanda, meski penjajah, memikirkan ketahanan pangan Bojonegoro. Mereka rela menggelontorkan dana besar, bahkan di tengah depresi ekonomi dunia.

Mengendalikan Sungai Solo yang Liar
Banjir di Bengawan Djerose, yang mengancam 50.000 bouw tanah subur, jadi perhatian serius. Soerabaijasch Handelsblad mencatat, Belanda mengambil langkah ekstrem: memotong arus Sungai Solo di Palangwot (dekat Wringin Anom) dan mengalihkannya ke Sidajoelawas. Proyek ini menggeser 2,851 juta meter kubik tanah dengan alat sederhana, dilengkapi pintu air untuk mengatur banjir, melindungi sawah, dan menjaga pelayaran.
Semua ini dilakukan saat dunia dilanda krisis. Namun, Belanda tetap memprioritaskan Bojonegoro, menunjukkan komitmen yang sulit diabaikan.
Bojonegoro Kini: Warisan Belanda, Kemangkakan Lokal
Bayangkan betapa ironisnya: penjajah Belanda, yang datang untuk mengeruk keuntungan, rela berjuang membangun irigasi demi petani Jawa di Bojonegoro. Waduk Pacal, Prijetan, dan Laren masih berdiri kokoh, warisan kolonial yang setia mengairi sawah hingga kini. Bahkan pemerintah pusat menambah Waduk Gongseng untuk memperkuat ketahanan pangan.
Tapi, lihat Bojonegoro hari ini. Pemkab Bojonegoro punya APBD salah satu terbesar di Jawa Timur, dengan dana melimpah untuk membangun. Rencana Waduk Pejok sudah bertahun-tahun digaungkan, tapi eksekusinya? Nol besar. Kertas-kertas rencana berdebu di laci, sementara sawah masih bergantung pada warisan penjajah dari seabad lalu.
Di mana political will yang dimiliki insinyur Belanda dan petani Jawa di masa kolonial? Mengapa Bojonegoro, dengan segala potensinya, masih terjebak dalam wacana, padahal Belanda—yang notabene penjajah—berani bertindak di tengah keterbatasan?
Tantangan untuk Masa Depan
Bojonegoro tak kekurangan dana atau ide. Yang hilang adalah keberanian untuk mewujudkan mimpi, seperti yang ditunjukkan Belanda di 1933. Waduk Pejok bukan sekadar proyek, tetapi simbol: apakah kita mampu melampaui warisan penjajah, atau hanya puas mengenang keberanian mereka?
Saatnya Pemkab Bojonegoro dengan Kepemimpinan Baru Bupati Setyo Wahono dan Wakil Bupati Nurul Azizah bertindak. Petani Bojonegoro layak mendapat irigasi modern, bukan cuma kenangan dari Hindia Belanda. Jika penjajah saja peduli, mengapa kita tidak!.
Saatnya Bojonegoro “Bahagia, Makmur dan Membanggakan”
Penulis : Syafik
Sumber : Koran Soerabaijasch Handelsblad , edisi 19 Januari 1933. diunduh dari delpher.nl
(Disclaimer : Diterjemahkan dengan menggunakan chatgpt.com, sehingga mungkin terjadi kesalahan)