Ironi Bojonegoro: Ladang Minyak yang Tak Menghapus Kemiskinan

oleh 145 Dilihat
oleh
Lokasi Lapangan minyak Banyu Urip, di area Blok Cepu, tepatnya di Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro.Foto/dok.EMCL

damarinfo.com – Di bawah tanahnya, tersimpan miliaran dolar dari minyak dan gas. Di atas tanahnya, masih ada ribuan orang yang berjuang untuk sekadar makan. Bojonegoro, kabupaten yang disebut “Kuwait-nya Indonesia”, justru menyimpan ironi menyakitkan: kekayaan melimpah, tapi kemiskinan tetap menghantui. Bagaimana bisa daerah dengan PDRB tinggi masih menyisakan 11,69% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024? Lalu, bagaimana nasib Bojonegoro di masa depan jika tak ada perubahan?

(Grafik PDRB ADHK (2010) dan APBD Kabupaten Bojonegoro (dalam miliar rupiah). Data diolah dari berbagai sumber)

Kekayaan yang Tak Sampai ke Rakyat Kecil

Bojonegoro memang kaya. Sektor pertambangan, terutama minyak dan gas, menyumbang lebih dari 50% terhadap PDRB daerah ini. Namun, kekayaan ini tidak serta-merta dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Indeks Gini Bojonegoro, yang mengukur ketimpangan pendapatan, masih berada di kisaran 0,28-0,34. Angka ini seperti tamparan keras: kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara sebagian besar masyarakat masih hidup dalam keterbatasan.

Data menunjukkan bahwa 12,18% penduduk Bojonegoro masih hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2023. Meskipun angka ini turun menjadi 11,69% pada 2024, penurunannya sangat lambat. Garis kemiskinan pun terus naik, dari Rp 403.403 pada 2022 menjadi Rp 471.457 pada 2024. Artinya, biaya hidup semakin tinggi, sementara pendapatan masyarakat miskin stagnan. Mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.

(Sumber data :bpsjatim.go.id)

Kemiskinan yang Turun Lambat, Biaya Hidup yang Meningkat

Jika kita melihat data dari tahun 2002 hingga 2024, ada pola yang menarik. Pada periode 2002-2010, angka kemiskinan turun secara signifikan dari 28,34% menjadi 18,78%, dengan laju penurunan rata-rata 6,02% per tahun. Ini adalah era di mana program pengurangan kemiskinan berjalan cukup efektif.

Namun, pada periode 2011-2019, laju penurunan melambat menjadi rata-rata 3,94% per tahun. Angka kemiskinan turun dari 17,47% menjadi 12,38%, tetapi penurunannya tidak secepat sebelumnya. Yang lebih memprihatinkan adalah periode 2020-2024, di mana laju penurunan kemiskinan hanya 1,04% per tahun. Pandemi COVID-19 memperburuk kondisi, dengan angka kemiskinan sempat naik pada 2020-2021 sebelum turun kembali.

Baca Juga :   Surat redaksi Jalan Nglenyer dan Mimpi Masyarakat Bojonegoro yang Sejahtera

Dalam hal jumlah penduduk miskin, pada periode 2002-2010, jumlah penduduk miskin turun rata-rata 13.188 orang per tahun. Namun, pada periode 2020-2024, penurunan jumlah penduduk miskin hanya rata-rata 3.443 orang per tahun. Ini menunjukkan bahwa upaya pengurangan kemiskinan semakin sulit dan lambat. Seolah-olah, kemiskinan telah menjadi tembok tebal yang sulit ditembus.

(infografis Pengentasan Kemiskinan Bojonegoro. Grafis :Syafik)

Pekerjaan yang Tak Memberi Harapan

Sebagian besar penduduk miskin bekerja di sektor informal (46,11%) atau pertanian (33,22%). Pendapatan mereka tidak stabil, membuat upaya meningkatkan kesejahteraan menjadi sulit. Sektor pertambangan, meski menyumbang besar terhadap PDRB, tidak menciptakan lapangan kerja yang luas.

Pendidikan: Belenggu yang Menjerat Masa Depan

Pendidikan juga menjadi faktor penting yang memengaruhi kemiskinan di Bojonegoro. Sebagian besar penduduk miskin hanya tamat SD atau SMP. Pada 2024, 53,09% penduduk miskin hanya tamat SD/SMP, sementara hanya 29,91% yang tamat SMA. Rendahnya tingkat pendidikan ini membatasi akses mereka ke pekerjaan formal yang lebih menjanjikan.

Meskipun angka partisipasi sekolah relatif tinggi (99,77% untuk usia 7-12 tahun dan 98,19% untuk usia 13-15 tahun), kualitas pendidikan masih menjadi tantangan. Tanpa pendidikan yang memadai, generasi muda Bojonegoro seperti terjebak dalam lorong gelap tanpa pintu keluar

(Sumber data “Buku dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2024. BPS RI)

APBD Besar, Tapi Tak Menyentuh yang Terpinggirkan

Bojonegoro memiliki APBD yang cukup besar, tetapi alokasinya belum sepenuhnya berpihak pada rakyat miskin. Sebagian besar dana digunakan untuk proyek infrastruktur fisik, sementara program bantuan sosial hanya menjangkau 44,19% rumah tangga miskin. Artinya, lebih dari separuh penduduk miskin tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Baca Juga :   110 Ribu Keluarga di Bojonegoro (Masih) Pra Sejahtera.

Bojonegoro di Persimpangan: Masa Depan yang Suram Jika Tak Bertindak

Tanpa perubahan kebijakan yang mendasar, Bojonegoro akan menghadapi ancaman serius:

  1. Ketimpangan Pendapatan yang Meningkat – Kekayaan tetap terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara masyarakat miskin semakin tertinggal.
  2. Ketergantungan pada Migas yang Rentan – Jika harga minyak turun dan produksi minyak turun perekonomian Bojonegoro akan terpukul dan angka kemiskinan bisa melonjak.
  3. Generasi Muda Terjebak dalam Kemiskinan – Tanpa akses pendidikan berkualitas, generasi muda akan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
  4. Pembangunan yang Tidak Merata – Daerah pedesaan atau terpencil akan tetap tertinggal dalam hal akses terhadap layanan dasar.

Belajar dari Daerah Lain: Solusi yang Bisa Diterapkan

Beberapa daerah di Indonesia telah berhasil mengatasi tantangan serupa:

  • Banyuwangi – Mengembangkan UMKM dan pariwisata berbasis komunitas melalui program “Banyuwangi Hijau”.
  • Sumba Timur – Memanfaatkan energi terbarukan untuk mendukung ekonomi masyarakat melalui program Desa Mandiri Energi.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk mengatasi kemiskinan di Bojonegoro, diperlukan langkah konkret:

  1. Meningkatkan Pemerataan Pendapatan – Memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
  2. Mengembangkan Sektor Inklusif – Mengurangi ketergantungan pada sektor migas dengan mendorong sektor pertanian modern, industri kecil, dan pariwisata.
  3. Meningkatkan Akses Pendidikan Berkualitas – Memberikan beasiswa dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan mobilitas sosial.
  4. APBD yang Lebih Pro-Poor – Memastikan dana APBD dialokasikan untuk program-program yang langsung menyentuh masyarakat miskin.

Pilihan di Tangan Bojonegoro

Bojonegoro berada di titik kritis. Dengan kebijakan yang tepat, daerah ini bisa menjadi contoh bagaimana kekayaan alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.

“Namun, tanpa perubahan, Bojonegoro hanya akan menjadi saksi bisu bagaimana sumber daya alam yang melimpah tak mampu menyelamatkan rakyatnya dari kemiskinan.”

Bagaimana menurut Anda? Apa solusi terbaik untuk mengatasi kemiskinan di Bojonegoro?

Penulis : Syafik

 

Response (1)

  1. Dalan wes mulus saki lanjut pendidikan gratis yg di garap agar rakyat bohonegoro semua bisa bersaing untuk memajukan bojonegoro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *