damarinfo.com – Bojonegoro kini sedang giat membangun identitas baru sebagai destinasi wisata geologi . Tak hanya menggali potensi lokal seperti Texas Wonocolo di Kecamatan Kedewan , Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro juga tengah mengajukan wilayah ini untuk mendapatkan sertifikasi UNESCO Global Geopark (UGG) . Langkah ini menjadi momentum penting untuk menghidupkan kembali warisan sejarah eksplorasi geologi, seperti ekspedisi ilmuwan Belanda ke Gunung Pandan pada 1935 silam.
Gunung Pandan 1935: Wisata Geologi Awal di Bojonegoro
Seperti di tulis dalam koran berbahasa belanda De indisceh courant edisi 30-07-1935. Pagi itu, 3 Juli 1935, udara Cepoe masih diselimuti kabut tipis. Rombongan anggota Natuur-historische Vereeniging (Perkumpulan Sejarah Alam) cabang Cepoe bersiap memulai perjalanan bersejarah. Mereka akan menapaki Gunung Pandan , sebuah bukit di Klino yang belum banyak terjamah, dengan tujuan ganda: eksplorasi ilmiah dan rekreasi bersama sesama pencinta alam.
Perjalanan dimulai dengan mobil dari Cepoe, melewati Ngawi dan Saradan. Jalanan berdebu dan udara yang tenang membuat perjalanan terasa melelahkan. Meski begitu, semangat para anggota tetap tinggi.
“Kami seperti penjelajah zaman baru, mencari rahasia alam!” seru salah satu peserta, disambut tawa rekan-rekannya. Dua kali kendaraan mengalami gangguan teknis, tetapi rombongan tak menyerah.
“Ini adalah bagian dari petualangan,” ujar Ir. W. Zwart, ketua cabang Cepoe, sambil menyemangati tim.
Sesampainya di Klino, rombongan bersiap mendaki. Lebih dari 40 orang, termasuk anggota dari cabang lain, turut serta. Para porter dibawa untuk mengangkut bekal makanan dan minuman, karena rencananya akan ada piknik di puncak. “Jangan sampai kelaparan di atas sana!” seru salah satu peserta, sementara yang lain mulai mengatur langkah.
Mendaki dengan Semangat dan Tanpa Kenal Lelah
Rute pendakian dari Klino ke puncak Gunung Pandan tidak mudah. Jalurnya terjal, tanahnya kering, dan terik matahari terasa menyengat. Namun, semangat peserta tetap menggelegar. Di tengah perjalanan, Ir. S.G. Trooster, salah satu ilmuwan muda dalam rombongan, mulai menjelaskan ciri khas batuan di sekitar mereka. “Lihatlah warna tanah ini! Ini adalah endapan vulkanik yang terbentuk ribuan tahun lalu,” katanya sambil menunjuk formasi batuan di tepi jalan.
Sekitar pukul 11.30, rombongan tiba di puncak. Meski lelah dan haus, pemandangan yang terbentang membuat semua usaha terbayar. Gunung Wilis dan Lawoe terlihat jelas, sedangkan waduk proyek Patjal berkilauan di kejauhan. Di bawah langit biru, para anggota duduk di bawah gazebo sederhana yang tersedia. Bekal yang dibawa—roti, buah, dan air minum—dibagikan, meski tak cukup untuk semua orang. “Para porter pasti bisa membuktikan bahwa mereka membawa banyak persediaan!” candai salah satu peserta, sambil melirik tumpukan barang di pojok.
Geologi di Puncak Gunung Pandan
Setelah makan siang, Ir. S.G. Trooster naik ke tiang triangulasi setinggi 1,5 meter yang dipasang di puncak. Dengan peta dan catatan di tangan, ia menjelaskan struktur geologis Gunung Pandan.
“Formasi ini adalah hasil erosi bertahap dari batuan sedimen yang terbentuk di dasar laut purba,” ujarnya. Ia juga menyebutkan bahwa wilayah tersebut kaya akan fosil moluska , sisa kehidupan laut yang punah ribuan tahun lalu.
Namun, pandangan yang kabur karena kabut menghalangi Trooster untuk menunjukkan lebih banyak detail. “Jika udara lebih cerah, kita bisa melihat lebih banyak hal menarik!” ujarnya dengan nada menyesal. Meski begitu, penjelasannya berhasil membangkitkan rasa penasaran peserta.
Selanjutnya, Ir. W. Zwart melanjutkan diskusi dengan membahas pertumbuhan vegetasi di puncak.
“Mengapa tidak ada pohon di sini?” tanyanya rhetorikal. Jawabannya ternyata sederhana: Dinas Topografi Belanda pernah menebang pepohonan di puncak untuk memastikan jalur pengukuran tetap terbuka.
“Ini adalah bukti bahwa tempat ini pernah menjadi situs penting dalam pemetaan geodesi ,” tambahnya.
Warisan Ilmuwan Muda yang Terlupakan
Ekspedisi 1935 bukan hanya tentang geologi. Ini juga mencerminkan semangat kolaborasi antarilmuwan muda dari berbagai daerah. Di tengah perjalanan, hubungan cepat terjalin antara anggota cabang Cepoe dan rombongan dari Surabaya. Mereka berbagi cerita tentang penelitian sebelumnya, tantangan eksplorasi, dan harapan untuk masa depan ilmu pengetahuan di Hindia Belanda.
Sayangnya, jejak ekspedisi ini perlahan menghilang dalam waktu. Tiang triangulasi di puncak Gunung Pandan kini mungkin sudah berkarat, dan catatan geologi dari tahun 1935 tersimpan di arsip lama. Namun, spirit penjelajahan dan pembelajaran alam masih relevan—terutama di era modern ini, saat Bojonegoro berusaha menghidupkan kembali warisan geologinya.

Texas Wonocolo di Kedewan: Pilar Pengembangan Geopark Bojonegoro
Kini, hampir satu abad berlalu, Bojonegoro kembali menorehkan sejarah dalam dunia geologi. Texas Wonocolo di Kecamatan Kedewan menjadi proyek pengembangan wisata geologi yang menjanjikan. Situs ini dikenal dengan potensi edukasi tentang geologi serta sejarah lingkungan.
Berikut keunggulannya:
- Formasi Geologi Unik : Batu kapur, struktur karst, dan goa yang bisa menjadi lokasi penelitian dan wisata edukasi.
- Nilai Sejarah & Budaya : Mirip dengan Gunung Pandan 1935, situs ini bisa dikaitkan dengan narasi eksplorasi alam dan kearifan lokal masyarakat Kedewan.
- Dampak Ekonomi Lokal : Pengembangan geopark di Texas Wonocolo berpotensi meningkatkan ekonomi masyarakat melalui UMKM dan pariwisata berkelanjutan.
Bojonegoro dan Ambisi UNESCO Global Geopark
Pemkab Bojonegoro kini tengah berupaya mengajukan wilayah ini sebagai UNESCO Global Geopark (UGG) . Langkah ini tidak hanya akan mengangkat nama daerah, tetapi juga membuka peluang besar untuk:
- Promosi Internasional : Geopark bersertifikasi UNESCO menarik minat wisatawan, peneliti, dan akademisi dari luar negeri.
- Pelestarian Lingkungan : Pengelolaan geopark mendorong konservasi situs geologi dan ekosistem sekitarnya.
- Peningkatan Ekonomi : Wisata geologi bisa menjadi alternatif pendapatan masyarakat di luar sektor minyak bumi.
Rekomendasi untuk Pemkab Bojonegoro
Agar ambisi menjadi geopark dunia bisa terwujud, Pemkab Bojonegoro perlu:
- Kolaborasi Akademisi : Gandeng perguruan tinggi untuk riset dan penyusunan materi edukasi geologi.
- Infrastruktur Pendukung : Bangun jalur pendakian yang aman, panel informasi interaktif, dan sarana keselamatan di lokasi geopark.
- Promosi Berbasis Narasi Sejarah : Gunakan cerita ekspedisi 1935 di Gunung Pandan untuk menarik minat wisatawan muda dan akademisi.
- Ajukan Sertifikasi Geopark : Kembangkan Texas Wonocolo sebagai geopark tingkat nasional terlebih dahulu, sebelum mengajukan ke UNESCO.
Menuju Bojonegoro sebagai Destinasi Wisata Geologi Dunia
Dari Gunung Pandan 1935 hingga Texas Wonocolo di Kedewan , Bojonegoro punya modal besar untuk menjadi destinasi wisata geologi. Dengan pengelolaan yang tepat, potensi ini bisa mengangkat nama daerah sekaligus melestarikan warisan alam.
Saatnya Pemkab Bojonegoro mengambil langkah konkret: menyatukan sejarah, sains, dan ekonomi dalam satu peta jalan wisata geopark . Bukan hanya untuk membanggakan masa lalu, tetapi menciptakan masa depan Bojonegoro yang lebih berwarna—dan mendunia. Untuk
“Bojonegoro Bahagia, Makmur dan Membanggakan”
Penulis : Syafik
Sumber sejarah: (koran De indisceh courant edisi 30-07-1935, diunduh dari laman delpher.nl diterjemahkan dengan grok.com)