Menapaki Jalan ke Kota yang Terlupakan
Di tengah hiruk-pikuk perubahan zaman, ada sebuah kota kecil di pedalaman Jawa Timur yang tetap tenang dan tak tersentuh pergolakan politik. Ia adalah Bojonegoro — sebuah kota yang pada tahun 1936 masih mempertahankan nuansa tradisionalnya, meskipun dunia luar mulai ramai membicarakan emansipasi dan kemandirian pemerintahan lokal.
Seorang penulis dari koran De Indische Courant menulis catatan perjalanan yang puitis dan reflektif tentang kota ini. Melalui tulisan itu, kita diajak menyusuri jalan dari Surabaya menuju Bojonegoro, melihat kehidupan masyarakat, alam, dan perubahan sistem pemerintahan yang mulai terasa — atau justru belum terasa sama sekali.
Kehidupan Sederhana di Tanah yang Keras
Perjalanan dimulai dari Surabaya. Di sepanjang jalan, penulis menyaksikan hamparan kolam ikan yang memantulkan sinar matahari, rumah-rumah nelayan udang karang yang seperti mengapung di atas air, serta para petani yang bekerja hingga pinggang dalam lumpur.
Daerah yang dilewati dulu adalah wilayah yang miskin — miskin uang, miskin hasil pertanian, tapi kaya akan keindahan yang suram. Meski begitu, manusia tetap bertahan di sana. Mereka menanam padi di tanah yang hanya bisa tumbuh jika turun hujan, dengan harapan panen akan datang. Sayangnya, sering kali harapan itu pupus karena alam tak menentu.
Penulis juga menyebut Bengawan Solo, sungai besar yang menjadi darah kehidupan daerah ini. Di musim hujan, sungai itu sering menyebabkan banjir, meskipun beberapa tahun terakhir kondisinya sudah sedikit membaik berkat pembangunan infrastruktur.
Bojonegoro: Kota Pedalaman yang Tetap Tradisional
Sesampainya di Bojonegoro, penulis langsung merasakan kesan ketenangan. Kota ini digambarkan sebagai “kota pedalaman yang damai”, dengan jalannya yang rapi, kotak-kotak kota yang tersusun teratur, dan Alun-alun sebagai pusat kehidupan kota.
Dulunya bernama Radjegbesi (Radjekwesi), kota ini baru mendapat nama Bojonegoro pada tahun 1828, saat menjadi pusat pemerintahan. Sampai tahun 1936 pun, tidak banyak yang berubah. Masih sama seperti dulu, penduduk datang ke pasar untuk menjual kapuk, tembakau, atau hasil bumi lainnya. Masih ada residen, asisten residen, pengusaha kayu, dan pegawai Eropa dengan keluarganya.
Namun secara keseluruhan, Bojonegoro tetaplah kota pribumi. Walaupun termasuk wilayah kabupaten yang miskin dan tertinggal, Bojonegoro memberikan kesan menyenangkan dan damai.
Emansipasi yang Belum Dirasakan
Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda mulai menerapkan kebijakan emansipasi, yaitu upaya memberikan lebih banyak kemandirian kepada pemerintah daerah. Namun, menurut penulis, perubahan itu belum sampai ke masyarakat biasa.
Ia mencatat bahwa dalam survei cepat di daerah Lamongan, Babat, dan Bojonegoro, tidak ada satu pun warga biasa yang benar-benar memahami apa itu emansipasi. Bahkan, lebih dari 99% dari puluhan ribu orang belum pernah mendengar istilah tersebut.
“Bojonegoro tetap seperti dirinya sendiri,” tulis sang penulis. “Bahkan proses emansipasi pun tidak menyentuhnya.”
Kontras Fisik dan Filosofis: Kantor Lama vs Kantor Baru
Salah satu hal yang menarik adalah kontras antara dua gedung pemerintahan utama di Bojonegoro: Kantor Residen (Eropa) dan Kantor Kabupaten (pribumi).
Kantor residen digambarkan sebagai bangunan sederhana, seperti rumah biasa, dengan nilai sewa tak lebih dari tiga puluh gulden. Bangunan itu tidak memancarkan kemegahan kekuasaan. Malah, ia tampak seperti simbol “kekosongan”.
Berbeda dengan kantor kabupaten yang baru saja dibangun. Gedung ini modern, kokoh, dan mencolok berdiri di tengah suasana kota yang tradisional. Penulis menyebutnya aneh dan tidak selaras dengan lingkungan sekitarnya yang masih penuh pohon waru, pepohonan tinggi, dan arsitektur klasik Missigit.
Namun, bagi penulis, gedung itu adalah simbol dari ide baru: emansipasi. Di sinilah pemerintah kabupaten beroperasi dengan segala proyek dan administrasinya.
Meski begitu, penulis mencatat, kontras antara kantor residen dan kantor kabupaten sulit ditandingi. Itu bukan hanya soal fisik, tapi juga filosofi kekuasaan.

Refleksi: Emansipasi yang Terburu-buru?
Penulis tidak ingin terlihat menentang emansipasi. Ia menyadari bahwa perubahan itu bagian dari zaman. Tapi ia juga khawatir bahwa perubahan dilakukan terlalu cepat, tanpa persiapan yang matang.
Dalam ensiklopedia waktu itu disebutkan bahwa emansipasi bertujuan untuk memberi kemandirian kepada bupati dan pejabat pribumi dalam urusan pemerintahan, sehingga kontrol dari pihak Eropa bisa dikurangi. Namun, penulis mencatat bahwa gagasan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang pernah dipegang erat oleh tokoh-tokoh seperti Raffles dan Multatuli.
Dan yang lebih penting lagi, pengawasan yang teliti ternyata masih sangat diperlukan, bahkan setelah emansipasi diterapkan.
Bojonegoro, Simbol Ketahanan dan Keaslian
Bojonegoro pada tahun 1936 adalah simbol ketahanan dan keaslian. Kota ini tetap menjadi kota pribumi yang damai, tidak mudah tergoda oleh gema perubahan politik di tingkat atas. Ia adalah tempat di mana tradisi masih hidup, di mana kehidupan sederhana tetap berlangsung, meskipun zaman telah bergerak maju.
Bagi siapa pun yang ingin melihat bagaimana Jawa itu sesungguhnya — tanpa gemerlap kota besar — Bojonegoro adalah jawabannya.
“Bojonegoro tetap seperti dirinya sendiri. Damai, tenang, dan tetap pribumi.”
Penulis : Syafik
Sumber : artikel koran De Indische Courant, edisi Selasa, 4 Februari 1936. diunduh dari delpher.nl di terjemahkan dengan chat.qwen.ai